Monday, September 18, 2006

Percakapan Senin Hampir Tengah Malam

Kamu: ikot, kok sabtu malam nggak datang?

Saya: maap, lagi ada acara di puncak.

Kamu: Yang datang cuma cowok2 garing

Saya: yah, untung gue nggak dateng. bisa2 gue jadi kembang di antara kumbang2 beracun

Kamu: ikot, kok belum pulang?

Saya: bentar lagi, kan lagi chatting

Kamu: Kamu masih montok?

Saya: nggak, gue udah kurus. tirus kayak model2 kucing berjalan

Kamu: o y? bisa kurus juga? masih suka minum kopi aneh kalo pagi?

Saya: Masih

Kamu: masih sarapan di mobil?

Saya: masih

Kamu: masih suka ke menteng?

Saya: masih

Kamu: berarti masih montok?

Saya: udah nggak. gue kan bilang kalo skrg udah kurus

Kamu: bohong. lagian, kamu lucuan kalo motok

Saya: yeyeye...

Kamu: Suer!

Saya: udah ah, gue mau pulang aja

Kamu: masih suka ngambek kalo gitu?

Saya: idiiiih.... kapan gue suka ngambek?

Kamu: masih suka manyun sambil ngetik?

Saya: maksud lo? gue monyong kayak mandra?

Saya: tuh kan ngambek!!!

Saya: Siapa yang ngambek??
(saya menulisnya sambil tersenyum. kok bisa ya ada orang yang ingat hal-hal tidak penting?? setelah itu, saya menutup jendela chat, lalu pulang)


Masih saja katamu...
waktu aku menyuguhimu sesuatu yang kupikir kau sudah melupakannya
sekarang aku akan mengingat bahwa kau masih saja mengingat
masih saja


(Untuk kamu yang selalu on line di Yahoo Messenger ^_^V)
Aksi Curi Start Para Bakal Calon Gubernur DKI

Komisi Pemilihan Umum Daerah tidak mengenal istilah curi start kampanye

Jakarta-Jurnal Nasional

Sejumlah bakal calon Gubernur DKI Jakarta menggelar kampanye terselubung. Kampanye tersebut mereka tutupi dengan berbagai macam kegiatan. Katanya, agar masyarakat Jakarta mengenali wajah mereka.

Salah satu yang melakukan hal tersebut adalah Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Bibit Waluyo. Pada akhir Agustus lalu, ia menggelar lomba pancing dengan nama ‘Bibit Waluyo Cup’. Lomba ini diadakan di kolam pancing Jalan Kepu RT 06/RW 05, Kelurahan Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Perlombaan ini ternyata menyedot perhatian warga Jakarta. Buktinya terlihat dari jumlah peserta lomba yang membeludak hingga 1600 orang. Padahal, kapasitas kolam pancing hanya untuk 1400 orang.

Hadiah yang ditawarkan pun cukup menarik seperti televisi, mini compo, kipas angin, dan tropi dari Bibit Waluyo. Setiap peserta juga mendapat sertifikat foto dirinya yang disertai logo bergambar komunitas pendukung Bibit Waluyo.

Sertifikat itu bertuliskan, "Terima kasih atas partisipasinya ikut lomba pancing memperebutkan tropi Letjen TNI Purnawiran Bibit Waluyo."

Selain itu, Wakil Kepala Polisi RI Komisaris Jenderal Adang Daradjatun pun pernah menggelar pertandingan sepakbola yang bertitel 'Adang Daradjatun Cup'.

Acara tersebut dibuka pada Minggu, 20 Agustus, di Lapangan Blok S, Jakarta Selatan. Spanduk-spanduk tampak menghiasi lokasi itu, lengkap dengan wajah Adang mengenakan pakaian khas Betawi.

Menurut Adang, apa yang dilakukanya itu bukan kampanye. Semata-mata dilakukan agar masyarakat luas mengenali wajahnya.

"Ini bukan kampanye. Boleh-boleh saja mengadakan cup-cup seperti itu, wajar-wajar saja," kata Adang.

Hal serupa dikatakan Sarwono Kusumaatmadja. "Permainan belum mulai, bagaimana bisa curi start? Tapi, pemanasan kan boleh," katanya.

Saat itu, dirinya sedang membuka acara Gerakan Kebersihan Bersama. Acara tersebut diselenggarakan oleh Sekretariat Bersama Pedagang Pasar Tanah Abang blok B,C,D,E.
Sarwono menambahkan bahwa kehadirannya saat itu di Tanah Abang semata-mata didorong komitmen sebagai Pembina Sekber PPTA. Karenanya, ia berkewajiban memberi dukungan moral dan berbagi pengalaman demi kemajuan para pedagang.

Tampak jelas kehadiran Sarwono di Tanah Abang saat itu disambut meriah oleh para pedagang. Mereka mengeluk-elukkan namanya sebagai calon Gubernur Jakarta yang akan datang.

Acara "curi start" oleh para cagub Jakarta sebelumnya sempat merebak dengan motif pembagian selebaran anjuran dukungan terhadap salah satu cagub, maupun mengadakan acara silaturahmi politik dengan sejumlah parpol.

Poster-poster yang diduga sebuah bentuk kampanye terselubung menjelang Pilkada Jakarta 2007 juga mulai banyak didapati di Jakarta. Melihat fenomena tersebut, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tidak tinggal diam. Dia berjanji akan menertibkan poster-poster tersebut.

“Mereka telah mencuri start, dan akan ditertibkan,” ujar gubernur yang juga akrab disapa Bang Yos ini.

Sayangnya, aksi curi start berkampanye itu tak dapat ditegur apalagi dihentikan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Jakarta. Pasalnya, KPUD masih belum memiliki aturan yang jelas untuk pelaksanaan Pemilihan Gubernur DKI.

Peraturan kampanye baru bisa dilaksanakan pada awal tahun 2007, saat para cagub mendaftarkan diri secara resmi

Menurut Pelaksana Harian Ketua KPU DKI Juri Ardiantoro, pihaknya tidak mempunyai kewenangan dan persepsi terhadap tindakan yang dianggap mencuri start tersebut.

“KPU tidak mempunyai kewenangan dan persepsi apa-apa. Pada intinya, KPU tidak mengenal istilah curi start tapi hanya kampanye,” ujar Juri.

Hal itu menurutnya disebabkan oleh belum berlakunya peraturan pelaksanaan Pilkada.

“Jika ada pemasangan yang mengganggu maka sebaiknya gunakan peraturan lain yang tersedia dan tak berhubungan dengan KPU seperti tentang kebersihan dan ketertiban untuk memprotes,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan bahwa yang dimaksud masa kampanye berlangsung sejak 14 hari sebelum masa tenang. Adapun masa tenang dimulai 3 hari sebelum hari pemilihan.

Sementara itu, sosiolog dari Universitas Indonesia, Ganda Upaya, berkata bahwa ketiadaan aturan itulah yang akhirnya dijadikan celah oleh para kandidat.

”Masa sih yang seperti itu tidak pernah terpikirkan sebelumnya? Kalau belum ada aturan, masyarakat seolah dikadalin. Para bakal cagub dapat menjustfikasi kampanye terselubung yang mereka lakukan,” ujar Ganda.

Ia juga menegaskan bahwa segala acara yang dilakukan para bakal cagub DKI jelas-jelas masuk dalam kampanye terselubung. ”Kegiatan itu kan untuk mengekspos nama seseorang yang terang-terangan mencalonkan diri jadi Gubernur,” katanya.

Ganda menambahkan bahwa kegiatan ’Bibit Waluyo Cup’ atau ’Adang Daradjatun Cup’ dilakukan untuk membangun opini publik tentang citra seseorang. Paling tidak, katanya, publik jadi mengenali wajah mereka.

”Pencitraan sangat penting dalam sebuah kampanye. Tentunya berdampak pada siapa kandidat yang akan dipilih oleh konstituen” urai Ganda.

Adapun kampanye terselubung akan merugikan para kandidat lain yang dari segi finansial tidak punya kemampuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan serupa. ”Ini sama sekali tidak fair,” cetusnya.

Selain itu, kampanye terselubung juga merugikan masyarakat, terutama yang berada di lapisan bawah. Mau tidak mau, mereka nantinya hanya mengenal kandidat yang sering mereka lihat tampangnya.

Padahal, para kandidat belum tentu melaksanakan janji-janji politik yang mereka ucapkan saat kampanye. (Ika Karlina Idris)



Me and The Legend

Friday, September 15, 2006

Mengendalikan Peredaran Narkoba dari Penjara

Jakarta-Jurnal Nasional

Dua orang petugas Lapas Narkoba Cipinang Jakarta Timur ditangkap Kepolisian Daerah Metro Jaya, Rabu (28/6) karena mengedarkan shabu-shabu. Zaenudin (23) dan Nusantara Ariyanto (27) adalah kaki tangan dari seorang napi, yaitu Kamir Santoso, yang ditahan di tempat mereka bertugas.

Kamir memang tahu bagaimana memanfaatkan orang lain. Ia menjadi napi di Lapas Narkoba Cipinang sejak tahun lalu. Sebelumnya, ia adalah tahanan di lapas Suka Miskin, Bandung.

Ditempat itu, Kamir dihukum 9 tahun penjara karena menjadi pengedar narkoba. Sebelum masa tahanannya habis, pada 2003 ia melarikan diri dengan menyogok seorang petugas lapas.

Kini, 3 tahun kemudian, ia pun kembali memanfaatkan dua sipir lapas untuk menjalankan bisnis haram tersebut.

Menurut Kepala Satuan Psikotropika Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Polisi Hendra Joni, pada Juni 2006, ada 3 kasus serupa. Ia juga mengakui bahwa fenomena beredarnya narkoba di dalam lapas sudah terjadi sejak lama dan sulit untuk memutuskan rantainya.

Di dalam lapas, terdapat para bandar besar Narkoba. Mereka tentu sudah memiliki jaringan yang luas dan jumlah konsumen yang sangat banyak. Meski para bandar di tahan, mereka tetap akan berhubungan dengan konsumen mereka.

Ketergantungan seseorang terhadap narkoba tidak akan berhenti meski pemasoknya ditahan. Konsumen pun akan selalu mencari barang tersebut, sehingga mereka akan terus mencoba menghubungi si bandar.

Joni menjelaskan bahwa bagaimanapun juga, bandar tentu butuh uang. Meski ditahan sekalipun, mereka masih punya kaki tangan yang ada di luar lapas. Kaki tangan inilah yang nantinya menjalankan bisnis mereka.

“Para bandar narkoba itu malah senang kalau ditahan. Soalnya mereka masih bisa menjalankan bisnis dari dalam lapas. Ibaratnya mereka seperti masuk ke hotel saja, bisa makan, minum, dan tidur gratis. Mereka juga tidak perlu takut tertangkap, kan sudah di dalam tahanan,” paparnya.

Di dalam lapas, para bandar juga akan mencari “orang-orang baru” untuk dijadikan perantara ataupun kurir. Biasanya, mereka akan mengincar sipir ataupun tahanan yang sebentar lagi bebas. Sekeluarnya nanti, “orang-orang baru” ini diharapkan memperluas jaringan yang sudah ada.

Para sipir mereka “rekrut” agar ada orang dalam yang memasukkan barang tersebut ke lapas atau paling tidak sipir inilah yang menjembatani komunikasi si bandar dengan kaki tangannya.

Lihat saja apa yang terjadi pada awal Maret lalu. Saat itu sindikat penjual ganja dan shabu-shabu di Lapas Cipinang berhasil dibongkar oleh Polres Metro Jakarta Timur. Sindikat tersebut melibatkan seorang sipir, yaitu Budi Silistio (25), serta tiga orang napi, yaitu Suryadi (25), Sabri bin Sabar (32), dan Banta.

Budi berperan sebagai pemasok, sedang barang haram tersebut didapatnya dari Ali yang hingga kini masih buron. Setelah diupah sebesar 500 ribu rupiah, sipir yang sudah bertugas selama 4 tahun tersebut, menyerahkan ganja ke Suryadi.

Suryadi yang merupakan napi kasus shabu-shabu lalu menyerahkannya ke Sabar, dan kemudian berpindah ke tangan Banta. Banta inilah yang bertindak sebagai bandar narkoba di dalam penjara. Saat ini semua tersangka sedang dalam proses pengadilan di PN Jakarta Timur.

Selain itu, banyak pula kasus dimana para bandar besar yang berada dalam lapas tetap mengendalikan peredaran narkoba yang ada di luar.

Menurut Joni, hal ini dmungkinkan karena ada sipir yang mau saja diperalat sebagai jembatan komunikasi. “Entah mereka sebagai penghubung langsung atau pun hanya meminjamkan ponsel mereka ke Napi,” ujarnya.

Tahun lalu, pihaknya pernah menangkap tiga orang kurir yang semuanya perempuan, yaitu Fanny Sintya, Ningsih, dan Triyatimi. Rupanya dua orang dari mereka adalah istri dari bandar besar yang sedang ditahan di Lapas Cipinang. Masing-asing mereka adalah George Obinna alias Andi dan Nwaolisa Hansen alias Anthony.

Kedua napi yang berwarganegara Nigeria tersebut masih dapat memesan heroin dari luar negeri dengan menghubungi bandar di sana via ponsel. Selain itu, mereka juga mengendalikan peredarannya via ponsel ke tiga kurir mereka. Dan semuanya mereka lakukan di dalam lapas.

Joni yang seminggu lalu menembak mati seorang pengedar shabu-shabu ini berkata, “Kuncinya ada di jalur komunikasi. Sebenarnya, sudah ada larangan bagi setiap petugas lapas ataupun pengunjung untuk membawa ponsel mereka. Saya sendiri pun jika datang ke sana harus menitipkan ponsel saya.”

Kepala Lapas Narkoba Cipinang, Jakarta Timur Wibowo Joko Harjono mengatakan bahwa hal tersebut sebenarnya sudah ia antisipasi. Bahkan, sejak sebulan ini pengamanan lapas diperketat.

“Tapi, tentu saja tidak semua bisa kami kontrol. Meski dalam perekrutannya harus melewati tes kepantasan dan kepatutan, namun sipir lapas kan manusia juga. Pasti ada saja hal yang bikin mereka tergiur dengan tawaran untuk mengedarkan narkoba,” katanya.

Untuk itulah, selama enam bulan kedepan, ia akan mengintensifkan operasi pembersihan narkoba di lapas. Dengan ditahannya beberapa sipir, ia berharap hal tersebut akan menjadi shock therapy bagi sipir yang lain.

Bahkan, ia juga meningkatkan stressing bagi para sipir. Tidak hanya melalui skorsing namun juga menyelipkan informan-informan.

Selain itu, penyebab lain yaitu terbatasnya jumlah sipir dengan jumlah napi. Di lapas yang dipimpinnya itu, terdapat 1256 napi, sedang sipir yang ada hanya 175 orang. Padahal, untuk mencapai pengamanan yang ketat, minimal sipir berjumlah 306 orang. Saat ini ia memang mengadakan penambahan jumlah pegawai, namun secara bertahap.

Lelaki yang pernah menjabat kepala lapas di Rutan Kelas I Surabaya ini menjelaskan, ”Membimbing dan membina napi kasus narkotika berbeda dengan napi kasus pembunuhan atau pencurian. Kenapa? Karena napi sudah ketergantungan dengan narkoba. Kalau orang sudah ketergantungan, betapapun mahal atau susahnya barang tersebut diperoleh, mereka tentu akan mengupayakan segala cara.”

Sebab itulah, pihaknya juga mengadakan rehabilitasi terpadu bagi para napi. Rehabilitasi ini mencakup rehabilitasi medis, mental, dan spiritual.

Dari sisi medis, ketergantungan napi akan dihilangkan dengan memberi obat jenis D5 yang berfungsi sebagai detoksifikasi. Setiap hari selama dua minggu tenaga medis di lapas akan memberikan mereka sesuai dengan dosis yang ada. Diharapkan, setelah dua minggu ketergantungan mereka akan berangsur hilang.

Dari sisi mental kami mengajarkan keterampilan dan melakukan penggeledahan rutin setiap dua mingu atau penggeledahan insidentil jika dibutuhkan. sedang dari sisi spiritual tentu saja dengan memberi siraman rohani.

Sedangkan menurut Ketua Umum DPP Gerakan Anti Madat (Granat), Henry Yosodiningrat, untuk mengatasi permasahalan narkoba di lapas, haruslah difokuskan pada sipirnya.

“Langkah terpenting adalah melakukan revolusi besar-besaran. Kalau perlu, semua sipir diganti karena mereka yang sudah tua, biasanya sudah terjebak dalam sistem,” ujar pengacara handal ini.

Selain itu, pendidikan moral dan etika calon sipir harus dibenahi. Dirinya mengakui pernah membincangkan hal ini dengan Meneteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin.

Menurutnya, Hamid juga mengakui bahwa tak ada satupun rutan di Indonesia yang bebas dari peredaran narkoba. Karena itulah, moral mereka harus dibangun sejak masih dalam tahap pendidikan.

“Memang mereka PNS, dan alasan yang paling banyak digunakan sebagai pembenaran adalah gaji PNS yang kecil. Tapi saya tidak setuju. Masih banyak PNS yang bisa hidup sederhana karena memang moralnya kuat,” katanya. (Ika Karlina Idris)
Puluhan Juta Rupiah dari Bisnis Wc Umum

Jakarta-Jurnal Nasional

Peluh menetes di dahi Wulan, alisnya pun bertaut dan sesekali ia mengelukan suara-suara seperti mendesis. Maklum saja, ia sedang kebelet buang air kecil. Dan keinginannya itu sudah ia tahan sejak dari tol Cipularang hingga terminal Pulo Gadung.

Begitu bus memasuki terminal Wulan segera melompat dan mencari wc umum terdekat. Tanpa peduli dengan kondisi wc yang kotor dan bau, ia pun segera melepaskan keinginannnya tersebut.

Sesudah itu, ia keluar dan memasukkan 1000 rupiah ke kotak kayu yang terdapat tepat di depan pintu masuk wc.

Mungkin anda juga pernah mengalami hal yang sama dengan Wulan. Walau di terminal sekalipun, jika memang kebelet, anda tak akan peduli dengan kondisi wc umum yang ada.

Akan tetapi, jangan sampai kondisinya yang kotor dan bau mengecoh anda. Hanya dengan tarif 1000 rupiah untuk buang air dan 2000 rupiah untuk mandi, wc umum di terminal dapat menjadi lahan pengahasilan bagi sebagian orang.

Lihat saja apa yang dilakukan Agus (25). Sehari-harinya, ia dan 3orang rekannya bergantian “menjaga” wc umum yang terdapat di terminal Pulo Gadung, tepatnya di sebelah jalur bus dalam kota .

Bagunan yang memiliki 8 unit wc dan 4 unit kamar mandi umum ini menjadi tempat mereka mencari makan.

Waktu 24 jam mereka bagi ke dalam dua bagian jaga. Pukul 07.00-16.00 untuk shift pagi dan pukul 16.00-07.00 untuk shift malam. Dalam satu waktu jaga, satu orang bertugas menarik ongkos penggunaan wc atau kamar mandi, sedang yang lainnya bertugas untuk membersihkan.

“Kalau denger namanya aja, penjaga wc, kayaknya hina banget. Tapi, kerjaan ini kan halal. Lumayanlah buat makan ama uang rokok,” kata pemuda asal Jawa Tengah ini.

Wc yang sudah dijaganya sejak setahun lalu sebenarnya bukan miliknya sendiri. Wc tersebut milik seseorang bernama H.Imron. Namun, Agus belum pernah bertemu dengannya. Uang hasil jaga wc pun hanya ia titipkan ke petugas terminal. Nanti akan ada “orang H. Imron” yang datang mengambilnya.

Menurut Agus, wc dan kamar mandi umum yang ia jaga memberikan hasil yang lumayan, sekira 200.000-350.000 rupiah setiap harinya. Sedang setiap bulannya, ada retribusi yang harus dibayarkan pemilik ke peugas di terminal. Ia sendiri tidak tahu berapa. Yang jelas, pengeluaran rutin untuk biaya kebersihan seperti membeli karbol dan sabun, habis 50.000 per bulan.

Selain dikelola oleh perorangan, wc dan/atau kamar mandi umum juga dikelola oleh perusahaan. Salah satunya adalah PT Karya Amanah Indah. Sekira tahun 1970-an, pendiri perusahaan ini, yaitu Alm.H.Uju Juandi, mengambil alih pengelolaan wc umum.

Saat itu kondisi kebersihan wc umum di Jakarta begitu memperihatinkan.
Alm.H. Uju yang juga seorang pensiunan tentara memenangkan tender pengelolaan wc yang diadakan oleh pemda DKI.

Namun, saat terjadi reformasi, hal yang dilakukannya tersebut dinilai sebagai suatu monopoli sehingga sebagian pengelolaannya dikembalikan pada pemerintah.

Hingga kini, jumlah wc dan/atau kamar mandi umum yang dikelola PT Karya Amanah Indah tinggal 14 tempat. Semuanya tersebar di Terminal Pulo Gadung, Kampung Rambutan, Kali Deres, Tanjung Priok, Blok M, Gambir dan Kota.

Setelah ia wafat, perusahaan kini dikelola oleh istri dan anak-anaknya. Sedang untuk operasional di lapangan, Nyonya Uju atau Tuti Juandi mempercayakannya pada Diding (50) dan Amay (42).

Menurut Amay, sewaktu masih menguasai pengelolaan semua wc umum, bisnis ini dapat menghidupi keluarga pengusaha asal Tasikmalaya tersebut. Sayangnya, saat ini bisnis sudah tidak begitu bagus.

Kalaupun masih berjalan, semata-mata karena rasa tanggung jawab moral keluarga. Maklum saja, sekira awal tahun 2000, PT Karya Amanah Indah pernah menerima penghargaan dari Sutiyoso atas kebersihan wc dan/atau kamar mandi umum yang mereka kelola.

Adapun di setiap unitnya, biasanya ada minimal 2 orang yang menjaga wc siang malam sekaligus mengelola kebersihannya. Setiap hari mereka diupah 5.000 rupiah, belum termasuk biaya makan dan rokok.

Penghasilan setiap unit, berkisar antara 50.000-100.000 rupiah per hari. Jika sebulan ada 30 hari, lalu dikalikan 14 tempat yang mereka kelola, maka sebulan dapat mencapai sekira 21-42 juta rupiah.

“Tapi itu kan jumlah kotornya. Dari jumlah tersebut 30% bagian pengusaha, 20% untuk karyawan di lapangan, 20% untuk retribusi, dan 30% untuk relasi di terminal semisal kepala terminal atau bagian lainnya. Kita ini kan usaha di terminal, ya harus ngasih juga ke orang terminal,” ujar Amay.

Untuk penjaga wc, sebagian besar orang yang mereka kenal atau masih ada hubungan saudara. Tapi, Amay mengakui bahwa penjaga wc haruslah orang yang berani. Kalau perlu, lebih galak dari preman.

Lelaki yang juga berasal dari Tasikmalaya ini berkata,”Nggak semua orang yang masuk wc mau bayar. Utamanya ‘orang terminal’ seperti sopir, kenek, dan pedagang. Kalau pun bayar, biasanya 1000 untuk satu hari. Tapi, kalau preman, udah nggak bayar, malah mainta duit ke kita.”

Kendala lain yang biasanya ditemui adalah penipuan. Tindakan ini biasanya dilakukan 2 atau 3 orang. Modusnya adalah menitipkan barang sebelum masuk wc, lalu salah seorang diantara mereka akan keluar dan mengambil barang. Si pemilik barang pun menuduh penjaga wc yang mengambil barang.

“ Para penipu ini biasanya nuntut ganti rugi. Tapi petugas terminal kan nggak bego. Yang seperti itu biasanya ketahuan. Makanya, sekarang di depan pintu masuk sudah kami tulisi ‘tidak menerima titipan barang’,” kata Diding.

Ia juga mengakui bahwa banyak orang yang tergiur dengan bisnis pengelolaan wc dan/atau kamar mandi umum. Tapi menurut Diding, mereka hanya tergiur jumlahnya saja dan melupakan besarnya biaya yang harus ditanggung untuk pemeliharaan. Setiap bulan, wc harus disedot, saluran air dibersihkan, belum lagi biaya untuk bayar air dan listrik.
(Ika Karlina Idris)
Rambut Sugiharti Digunduli Petugas Tramtib


Jakarta-Jurnal Nasional

Bagi setiap perempuan, rambut adalah mahkota. Tapi, mahkota milik Sugiharti dicukur habis oleh aparat Tramtib saat razia joki 3 in 1

Terlihat beban yang begitu besar di mata Sugiharti. Bahkan, tangannya pun terlihat enggan membuka scarf kuning yang digunakannya menutup kepala.

Sewaktu kain itu terlepas dan memperlihatkan kepalanya yang gundul, seolah seluruh harga dirinya ikut terlucuti.

“Rambut saya dulu lurus,” ujarnya sambil mengusap kepala.

Rabu siang, 14 September, Sugiharti datang melapor ke Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Saat itu, ia ditemani suaminya, Sugiharto, 30 tahun, anak mereka Susan, 3 tahun, dan seorang kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Perempuan berusia 30 tahun itu datang melaporkan petugas ketenteraman dan ketertiban (tramtib) Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Mereka telah mencukur habis rambutnya.

Sambil menggendong Susan, Sugiharti bercerita. Saat itu, seperti yang sudah dilakukannya setahun terakhir, ia menjadi joki 3 in 1 di sekitar Taman Surapati, Menteng, Jakarta Pusat.

Waktu menunjukkan pukul 5 sore saat ia turun dari mobil yang menyewa jasanya. Saat hendak menyeberang ke depan kantor Komisi Pemilihan Umum , ia bertemu tetangganya yang juga menjadi joki.

“Da bilang kalau suami saya ketangkep ama tramtib. Karena mau ngeliat, saya jalan ke arah Kedutaan Malaysia . Saya pikir sembari nyari duit juga kalau ada mobil,” ujarnya.

Ketika berdiri di samping Kedutaan Malaysia, ia melihat mobil patroli tramtib berhenti di seberang jalan.

Mereka pun langsung mendatangi Sugiharti yang saat itu menggendong Susan. Salah seorang di antara mereka memarahinya dengan kasar.

“Lo mau ngelawan?,” ujar petugas tramtib.

“Mau apa?,” balas Sugiharti.

“Gue nggak dapet laki lo. Jadi, lo yang gue tangkep,” kata petugas tramtib.

Sekitar 20 orang petugas pun membawanya naik ke mobil patroli. Karena sudah tiga kali tertangkap, saat itu Sugiharti tenang-tenang saja. Lagipula, bersamanya ada 7 orang lelaki yang juga dijaring petugas.

Setelah dibawa berputar-putar, kesembilan orang tersebut dibawa ke Kantor Kecamatan Menteng sekitar pukul 19.30 WIB. Di sana, ia kembali diidterogasi. Lagi-lagi ditanyai tentang keberadaan suaminya yang juga mencari nafkah menjadi joki.

Seorang petugas menghampirinya dan berkata,”Gue udah hafal muka lo. Lo liat aja ya, kalo ntar laki lo ketangkep, dia gue habisin.”

Setelah itu, si petugas menampar pipi kirinya sambil mengancam akan menggunduli Sugiharti.

Waktu itu, sambil mendekap Susan, ia menenangkan hatinya. Ia pikir ancaman tersebut hanya gertakan saja. Meski terus dimarahi, Sugiharti memilih diam.

Puas memarahi para joki, petugas pun mengambil gunting rambut dan mulai menggunduli joki-joki yang tertangkap.

Saat semuanya sudah digunduli, petugas yang tadi menampar pipinya, memanggil perempuan yang tinggal di rumah tripleks di kolong stasiun Cikini, jakarta Pusat.

Ia pun mencukur habis rambut ibu dari 5 orang anak ini.

“Yang bikin saya lebih sedih karena saya digundulin di depan anak saya. Padahal, dia masih kecil banget. Apalagi, tramtib itu bilang ke anak saya kalau nanti gede, jangan badung kayak emaknya,” katanya sambil mengelus kepala.

Hanya Susan, putrinya, yang tidak digunduli. Sugiharti berkata kalau mereka sampai menggunduli Susan, berarti mereka memang tidak punya nurani.

Sekitar pukul 21.00 WIB, para joki yang sudah gundul tersebut pun dibawa ke sebuah panti sosial yang ada di daerah Kedoya, Jakarta Barat.

Menurut Sugiharti, waktu mereka datang para petugas di panti berkata,”Saya paling nggak suka nerima orang-orang yang dijaring di Menteng. Petugasnya suka ngegundulin orang. Masa perempuan juga digundulin!”

Setelah enam hari di sana, ia pun kembali ke rumah. Tapi, Sugiharti tetap tidak terima dengan perlakuan yang didapatnya.

Menurut suaminya, Sugiharto, bukan kali ini saja para joki mendapat perlakuan kasar dari petugas tramtib Menteng. Ia mengaku pernah ditendang waktu terjaring beberapa waktu lalu.

Meski sering tertangkap, pasangan suami istri yang namanya hampir serupa itu, mengaku tidak kapok.

“Saya belum dapat kerja. Terus mau makan dari mana? Kalau nggak ngejoki, saya mau kerja apa lagi?” ujar Sugiharto yang baru 4 bulan bebas dari tahanan karena mencuri motor.

Ia juga mengaku tahu bahwa menjadi joki 3 in 1 itu ilegal. Tapi, hal tersebut terpaksa dilakukannya untuk bertahan hidup. Mereka mengaku, masing-masing mendapat uang sekitar Rp 30-50 ribu setiap harinya.

Menurut kuasa hukum dari LBH Jakarta, Hermawanto, joki selalu dianggap mengganggu ketertiban umum dan merupakan penyakit masyarakat. Padahal, akar masalahnya ada di kemiskinan yang tidak pernah teratasi. (Ika Karlina Idris)
Polisi Gadungan dan Fenomena Uniformity


Jakarta-Jurnal Nasional

Modus kejahatan seringkali berulang. Salah satunya adalah kejahatan berkedok polisi. Bahkan, cara ini banyak dimanfaatkan penjahat.

Setiap minggunya, petugas di kantor Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya selalu menerima telepon dari masyarakat yang menjadi korban. Sebagian besar telepon dari Direktur sebuah perusahaan atau masyarakat umum.

Ceritanya, mereka menerima pesan singkat yang mengatasnamakan Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi I Ketut Untung Yoga Ana. Di pesan tersebut tertulis bahwa Humas Polda meminta sejumlah uang untuk ditransfer ke sebuah rekenening.

”Karena tidak percaya begitu saja, mereka pun mengecek nomor si pengirim sms ke sini,” ujar Santi, salah satu petugas Humas.

Tentu saja, nomor yang diberikan bukanlah kepunyaan Untung. Sayangnya, tak sedikit dari mereka termakan tipu dan sudah telanjur mengirim uang dalam jumlah yang besar.

Mengenai hal ini, Untung menyayangkan masih mudahnya masyarakat termakan penipuan berkedok polisi. Akan tetapi, ia juga mengaku bahwa untuk mengusut pesan singkat tersebut bukanlah hal yang mudah.

”Melacak sebuah pesan singkat itu kan prosesnya rumit. Harus berhubungan dengan provider segala,” kata Untung.

Selain penipuan semacam itu, modus yang sering ditemui adalah penjahat yang memakai seragam polisi. Mereka biasanya menilang pengendara motor di jalan atau bahkan merampok kendaraan mereka.

Lihatlah kejadian yang menimpa Tom, 30 tahun, warga Perumahan Taman Palem Lestari, Jakarta Barat. Sekitar pertengahan Agustus, ia dicegat lima orang perampok yang mengaku polisi saat melintas di Jalan Tol Bandara. Tepatnya di sekitar Penjaringan, Jakarta Utara.

Baru melaju sekitar 500 meter, sebuah mobil Mitsubishi Kuda menghadang mobil Tom. Seorang pria turun dari mobil bercat merah itu dan menghampiri Tom. Dia mengaku sebagai polisi dan memeriksa surat-surat kendaraan.

Pria itu menuduh Tom terlibat kasus narkoba dan memaksa Tom masuk ke Mitsubishi Kuda. Seorang pria lainnya segera mengambil alih mobil Tom. Kedua mobil itu pun melesat ke Jalan Tol Jakarta-Cikampek.

Mereka memaksanya menyerahkan kartu ATM beserta nomor PIN. Setelah itu, Tom dibuang di pinggir Jalan Tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang. Ia pun ditemukan warga dengan kondisi tangan terikat serta tubuh penuh luka bacokan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Kriminolog Erlangga Masdiana mengatakan adanya fenomena uniformity dalam masyarakat kita. Maksudnya, masyarakat seringkali lebih takut kepada seragam atau organisasi yang ada di belakang seseorang ketimbang substansinya.

”Hal ini tidak hanya terjadi pada kejahatan dengan modus polisi gadungan. Sebenarnya, ada banyak fenomena kejahatan yang mengatasnamakan seragam. Tarulah aksi penipuan dengan modus mengaku-ngaku sebagai anggota TNI ataupun pemungut pajak, ujarnya.

Ketua Program Pasca Sarjana Kriminologi Universtias Indonesia ini menyontohkan sebuah kasus sederhana. Yaitu keberadaan pelacur yang mengenakan seragam sekolah. Kenapa mereka berseragam? Karena dengan seragamlah maka seolah-olah mereka masih virgin. Padahal, kerja sehari-hari adalah melacur.

Ia juga menambahkan adanya tiga penyebab terjadinya fenomena uniformity. Pertama, hal ini terjadi karena masyarakat mengira adanya kekuasaan di balik seragam tertentu atau mungkin organisasi yang diwakilinya.

Untung berkata, ”Polisi itu kan memang punya nilai jual. Yang saya bingungkan, kenapa masyarakat takut sama polisi? Padahal, kami sendiri sebagai polisi biasa-biasa saja.”

Kedua, fenomena ini terjadi karena masyarakat kita tidak memiliki informasi yang jelas mengenai suatu prosedur. Di jalan, saat kendaraannya disetop polisi, anggota masyarakat menurut saja. Berhenti. Diperiksa dan baru sadar harta bendanya raib saat polisi sudah pergi.

"Masyarakat itu tahunya kan disetop polisi. Mereka tak pernah menanyakan surat tugas atau tanda pengenal polisi itu. Masyarakat juga tak menanyakan apa kesalahannya sehingga polisi menyetop," kata Erlangga yang menganggap modus polisi gadungan ataupun tentara gadungan sama saja.

Ia juga memberi contoh lain. Misalnya ada penipuan atas nama televisi swata. Modusnya seringkali dengan meminta sejumlah uang untuk ditransfer. Karena tidak tahu prosedur yang jelas, maka masyarakat mudah percaya dan langusng mengirimkan sejumlah uang.

Ketiga, fenomena ini disebabkan karena masyarakat kita adalah masyarakat yang inferior. Dengan kata lain, masyarakat kita memiliki rasa percaya diri yang rendah.

Jika melihat seseorang yang terkenal, powerful, atau mungkin pintar, mereka jadi mudah terpengaruh. Karenanya, mereka menjadi lebih mudah ditipu.

Hal yang sama terjadi jika ada seseorang yang kena tilang polisi di jalan. Karena sudah takut duluan, mereka jadi mengikuti saja, bahkan jika dimintai uang sekalipun.


Erlangga menegaskan bahwa harusnya masyarakat kita lebih memperhatikan aspek hukum dari suatu hal. Kalau tidak sesuai dengan penalaran, segeralah mengambil tindakan.

”Modus polisi gadungan terus-menerus dimanfaatkan penjahat. Selama masyarakat tidak waspada, modus ini akan selalu berulang,” imbuh Erlangga. (Ika Karlina Idris)
Syafitri: Dua Kepala, Satu Hati

Jakarta-Jurnal Nasional

Ada satu kejadian pada satu jam menjelang tengah malam di hari Selasa, 7 Agustus, yang telah mengubah hidup Mulyadi (32). Saat itu, istrinya, Nuryati (30), melahirkan anak ketiga mereka yang lalu diberi nama Syafitri.

Jika saja proses kelahiran tersebut seperti sebuah iklan produk susu kehamilan yang ada di televisi, tentu Mulyadi tak akan dikenal orang. Dalam iklan tersebut ditampilkan seorang ibu yang baru saja melahirkan. Dokter memperlihatkan si bayi yang masih merah kepada orang tua mereka sambil berkata, ”Putrinya sempurna.”

Setelah berkata seperti itu, sang ibu di dalam iklan lalu mengembangkan senyum bahagia. Bedanya, Nuryati malah tak henti-henti menangis setelah melihat kondisi putrinya.

Betapa tidak, Syafitri lahir dengan dua kepala dengan satu badan. Suatu hal yang pertama kali terjadi di dunia!

Bayi kembar siam yang gagal ini lahir dengan berat badan 3,9 kilo gram dan tinggi badan 45 senti meter. Dengan lingkar kepala kanan berukuran 32 senti meter dan lingkar kepala kiri 34 senti meter, Syafitri memiliki dua kaki, dua tangan, satu jantung, sepasang paru-paru, dan satu ginjal.

Kelainan juga terlihat dari tumbuhnya dua ekor dengan ukuran berbeda pada pantat Syafitri. Bagian yang menyerupai ekor tersebut adalah kaki yang gagal tumbuh. Ditambah lagi, bayi ini tidak memiliki anus sehingga kotorannya keluar melalui saluran kencing.

”Syafitri juga memiliki kelainan jantung dan saluran yang tidak normal antara paru-paru dan tenggorokannya,” ujar Ketua Tim Dokter Rumah Sakit Pelni, dr Ketut Lilamurti Spa.

Karenanya, bayi tersebut tidak dapat diberi minum melalui mulut. Seluruh gizi yang dibutuhkannya dimasukkan lewat infus.

Tepat tujuh hari setelah kehadiran Syafitri, Mulyadi melakukan aqiqah. Selayaknya mensyukuri kehadiran buah hati ke dunia, hajatan tersebut hanya dihadiri kelurga dekat saja.

”Tujuannya untuk selamatan. Tentunya juga untuk bersyukur atas pemberian Allah SWT. Saya sebagai manusia, hanya bisa pasrah,” ujar Mulyadi sambil menatap ke bawah, seolah memikirkan nasibnya.

Berbeda dengan Mulyadi, Nuryati butuh waktu lebih lama untuk menerima kondisi putrinya. Tidak hanya menangis, ia bahkan tidak ingin bertemu wartawan karena tak sanggup ditanya tentang kondisi anaknya.

Namun, tujuh hari setelah kelahiran anaknya, Nuryati sudah menerima kenyataan yang ada. Bahkan ia sudah bersdia mengungkapkan perasaannya.

”Kalau diberikan kue, mungkin saya masih bisa menolak kalau kuenya nggak enak. Tapi ini kan anak, tidak mungkin saya menolaknya,” ujar ibu muda ini.

Nama Syafitri yang berarti terlahir suci diberikan sejak pertama kali Mulyadi melihat anaknya di ruang bedah. Hingga kini, ia tetap memberikan satu nama saja untuk anaknya.

”Hanya ada satu nama untuk mereka. Sejak pertama kali melihatnya, saya yakin mereka memiliki satu hati,” kisahnya.

Meski dokter berkata bahwa Syafitri sebenarnya adalah dua individu yang berbeda. Lilamurti berujar, ”Bayi ini memiliki dua otak yang terbentuk sempurna.”

Hingga kini, bayi tersebut masih tergolek lemah di inkubator ruang bayi Paviliun Kenari, RS Pelni. Saat diperiksa pada Minggu pagi (13/8), bobotnya turun sebanyak 20 gram. Belum diputuskan tindakan medis yang akan ditempuh baginya.

Tim dokter yang menangani kasus variasi bayi kembar siam ini akan memutuskan jenis tindakan medis yang dilakukan pada Rabu, 16 Agustus mendatang.

”Itu akan diputuskan Rabu mendatang, setelah pertemuan antara tim dokter dari Rumah Sakit Pelni, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Harapan Kita,” urai Lilasari.

Tentunya, hal tersebut memerlukan biaya pengobatan dan perawatan. Saat persalinan saja, biaya yang ditanggung Mulyadi sudah mencapai Rp 4 juta. Untungnya, Uang sebesar itu ditanggung oleh perusahaan tempatnya bekerja sebagai anggota keamanan di PT Kekar Plastindo di Wisma Barito Pasific, Jalan S Parman, Jakarta Barat.

Ia juga mengaku dapat bantuan uang Rp 8 juta. Sisa uang itu, katanya, akan dilaporkan ke perusahaan, meski dia masih membutuhkan banyak biaya untuk masa depan putrinya.

"Saya sampai pinjam uang ke bank Rp 10 juta. Uang itu belum digunakan apa-apa. Buat simpanan. Tetapi uang itu tetap saja utang yang mesti saya tanggung. Saya sangat berterima kasih sekali apabila ada pihak lain yang mau meringankan beban saya," tutur Mulyadi yang bergaji Rp 1,3 juta per bulan.

Akan tetapi, Humas RS Pelni Dyah Purwanti mengatakan bahwa biaya tersebut akan dikembalikan dan semua biaya yang dibutuhkan nantinya akan ditanggung oleh Pemerintah daerah DKI Jakarta.

”Pasti akan kami gratiskan,” katanya.

Mengenai kemungkinan adanya pemisahan putrinya, Mulyadi mengaku pasrah. ”Jika memang tim dokter mengatakan harus dipisah, saya terima saja. Apapun yang diberikan oleh dunia kedokteran, asalakan itu dapat membuat anak saya jadi normal, saya pasrah saja,” katanya sambil tertunduk sedih.

”Saya ikhlas menerima keadaan ini,” ujarnya sambil menghela nafas panjang. (Ika Karlina Idris)
Penipuan dengan Hipnotis Hantui Warga Jakarta


Jakarta-Jurnal Nasional

Selama sebulan ini, sudah dua korban hipnotis melapor ke Sentra
Pelayanan Kepolisian (SPK) Polda Metro Jaya. Tak tanggung-tanggung, tukang
tahu keliling pun jadi korban.

Madinah bin Muhammad, 58 tahun, tampak linglung sewaktu datang ke SPK
pada Selasa, 22 Agustus. Mengendarai sepeda ontel, dia datang
terburu-buru setelah menyadari dirinya kena tipu.

Sekitar pukul 10 pagi, lelaki yang sudah berjualan tahu sejak 30 tahun
lalu ini baru saja menjual habis tahunya. Seperti biasa, ia
mengumpulkan uang sebanyak Rp100 ribu. dari jumlah tersebut, ia hanya membawa
pulang sebesar Rp 20 ribu.

uang sebesar itu ia gunakan untuk menafkahi istri, empat orang anak,
dan seorang cucunya. sedang Rp 80 ribu harus diputarnya lagi sebagai
modal untuk membeli tahu.

setelah berjualan di sekitar Pasar Mampang, Madinah mengayuh sepedanya
ke daerah Pejompongan untuk mengambil kulit kacang.

"kulit kacang itu buat pakan sapi. di rumah, saya ngempanin sapi orang,
lumayan buat nambah-nambah beli makan," ujar Madinah.

saat melintas di depan Kantor Dinas Menengah dan Tinggi (Dikmenti),
Kuningan, ia diberhentikan oleh seorang lelaki tinggi besar dan berkulit
sawo matang.

"logatnya melayu gitu. dia mau tanya alamat Yayasan Nurul Huda. karena
nggak tau, saya suruh tanya yang lain," cerita Madinah.

lalu, tanpa disadarinya, tiba-tiba datang lagi seorang lelaki dengan
perawakan yang sama. "Kawannya itu nanya saya punya uang berapa,"
tambahnya.

kedua lelaki yang saat itu menggunakan kemeja lengan panjang panjang
berkata bahwa mereka dapat menjampi-jampi uang tersebut agar lebih banyak
berkah yang diperoleh.

"Nggak tau kenapa, saya percaya aja," ujar Madinah.

lelaki tersebut pun memasukkan semua penghasilannya hari itu ke dalam
amplop. setelah beberapa saat, kedua tersangka mengembalikan amplop
tersebut.

mereka juga berpesan agar amplop tersebut baru dibuka jika Madinah
sudah tiba di masjid di sekitar Bendungan Hilir.
dengan bibir bergetar, ia menambahkan,"saya tidak boleh nengok ke
belakang. dan harus cuci tangan dulu kalau mau buka amplop."

sewaktu melihat isi amplop yang ternyata lembaran kertas, Madinah
langsung lemas. "Saya ini orang susah. saya jadi nggak punya modal untuk
jualan lagi," katanya sambil tertunduk lesu.

sekitar dua minggu lalu, hal yang sama menimpa Mawar (bukan nama
sebenarnya). Uniknya, madinah dan Mawar sama-sama mengaku dihipnotis lelaki
berlogat melayu. Wanita yang tinggal di jalan Tulodong, Jakarta Selatan,
tersebut bertemu dua orang lelaki di Plaza Semanggi.

"Mereka menawarkan barang antik ke saya. mereka juga bawa kertas kayak
papirus yang ada tulisan qur'annya," ujar Mawar saat itu.

Lalu mereka mengajak Mawar ke sebuah restoran. Di sanalah ia mengaku tidak ingat lagi apa yang terjadi.

Setelah kedua lelaki tersebut pergi, ia pun perlahan-lahan kembali sadar. Namun apa daya, kartu atm dan uang senilai Rp 5 juta yang ada
Ditabungannya sudah ia serahkan. "Bahkan saya sampai beliin mereka hp dan
juga serahkan hp milik saya," ceritanya.

Menurut Ikmal Fauzan, salah seorang hipnoterapis dari Klinik Romy Rafael, hal tersebut bukanlah hipnotis melainkan black magic atau ilmu hitam.

”Hipnotis adalah ilmu mengelola pikiran, yaitu alam bawah sadar manusia. Hinotis hanya bisa dilakukan jika yang bersangkutan memang menginginkan. Tidak bisa hanya dengan menepuk pundak seseorang maka dia langsung terhipnotis atau menurut,” katanya.

Ikmal menyontohkan jika ada seseorang yang dihipnotis untuk menyerahkan harta benda miliknya, tentu tidak akan berhasil. Hal tersebut dikarenakan tidak sesuai dengan alam bawah sadar seseorang.

Dari dulu, ada stigma yang salah di masyarakat mengenai hipnotis. ”Mereka selalu menyamakanya dengan santet atau ilmu hitam,” urai Ikmal.

Adapun mengenai kasus kejahatan dengan modus menghipnotis korban, hingga kini belum jelas penyelesaiannya. Hal tersebut karena RUU KHUP masih membahas tentang kejahatan dengan ilmu hitam.

Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi I Ketut Untung Yoga Ana, kejahatan jenis ini dapat dimasukkan ke jenis penipuan. Namun jika memenuhi salah satu diantara tiga unsur penipuan. Diantaranya, terdapat rangkaian kata bohong, terdapat akal dan tipu muslihat, serta terdapat keadaan palsu.

”Jika ada salah satu unsur yang terpenuhi, maka dapat diproses secara pidana. Tapi, untuk aksi hinotisnya itu sendiri tidak bisa kami proses. Kalau mau, polisi harus jadi malaikat dulu. Hinotis itu kan diluar kemampuan kami,” ujar Untung.

Karenanya, bukan berarti polisi tidak menangani kasus kejahatan dengan hinotis. Kasus-kasus ini biasanya tergantung pada penyidik. Jika memang dapat dibuktikan secara ilmiah, tentu akan diproses.

”Misalnya ada yang melapor bahwa dia dihipnotis untuk menyerahkan sejumlah uang. Adanya uang yang diserahkan tentu dpat dibuktikan, tapi tidak ada yang bisa membuktikan bahwa saat itu korban dalam keadaan tidak sadar,” urai Untung.

Ia juga menegaskan,”Believe it or not, sampai sekarang kasus kejahatan dengan hipnotis atau ilmu hitam belum dapat kami tuntaskan.”
(Ika Karlina Idris)
Badu si Anak Jalanan

Orangtuanya tinggal di gerobak. Usia 7 tahun, Badu kabur dan hidup sendiri di jalan. Kini, ia terkena penyakit menular seksual.

Jakarta-Jurnal Nasional

Berkaos hitam dengan gambar bintang ukuran besar di punggung, Badu (16) menghisap rokok kreteknya dalam-dalam. Asap rokok dihembuskannya dengan kuat, seolah membuang segala beban hidup yang ada.

Perawakan Badu sama dengan anak-anak lain yang sering dijumpai mengamen di bus-bus kota ataupun perempatan jalan. Kulitnya hitam terbakar matahari dan rambutnya memerah di beberapa bagian.

Saat saya bertanya lebih jauh tentang dirinya, dengan nada sinis ia berkata,”Memangnya penting ya?.”

Rasanya ucapan anak lelaki bertahi lalat di dahi ini dilontarkan karena ia tidak ingin mengingat kisah hidupnya.

Sekitar 17 tahun yang lalu, orang tuanya datang merantau dari Surabaya ke Jakarta. Seperti kaum urban lainnya, mereka datang untuk mengharapkan mutu hidup yang lebih baik. Apalah daya, mimpi tak kesampaian.

Selama setahun bekerja sebagai pemulung, mereka luntang-lantung di Ibukota dan menjadikan gerobak sampah sebagai rumah mereka. Sewaktu Natal tiba, Badu pun lahir. Tentu bukan di gerobak, dan tak mungkin di rumah sakit. Ia lahir di sebuah gereja atas pertolongan beberapa jemaat.

Beberapa tahun kemudian, ibu Badu kembali melahirkan anak-anaknya. “Saya punya enam adik, tapi sekarang tinggal dua. Semuanya lahir di gerobak,” katanya.

Jangankan pendidikan, rumah tempat berlindung pun tak pernah ia rasakan. Badu kecil sering dipukuli ayahnya, bahkan diikat di pohon. Sewaktu berumur 7 tahun, ia lari dari mereka.

Pada usia dimana anak-anak lain sedang belajar membaca dan menulis di bangku sekolah, dirinya belajar bertahan hidup. Dengan mengamen, mengemis, bahkan mencuri. Apapun asalkan bisa makan.

Sewaktu berumur 13 tahun, penggemar video game ini pun berkenalan dengan Andri. Saat itu mereka mengamen di sekitar daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Dari Andrilah Badu dikenalkan dengan Peter W Smith.

“Andri bilang, lo mau duit nggak?,” ujar Badu.

Lalu dirinya pun diberitahu bahwa Peter akan memberikan sejumlah uang, biasanya 50 ribu rupiah, agar Badu mau dijadikan objek pemuasan seksual.

Selama kurang lebih tiga tahun, tepatnya sejak 2003, Badu pun menjadi “langganan” Peter. Seringkali, ia juga mencarikan “anak baru” untuk Peter.

Dalam aksinya, Peter, yang berkewarganegaraan ganda Australia dan Inggris ini, menyuruh korbannya beronani ataupun melakukan oral seks. Disamping itu, lelaki usia akhir 40 ini juga merekam kegiatan tersebut melalui sebuah handycam.

Terbukti dari ditemukannya beberapa kaset video dan keping dvd hasil rekaman pornografi anak. Ada juga beberapa album foto porno yang disita polisi di rumah kontrakannya di jalan Tebet Timur Dalam, jakarta Selatan.

Setelah ditangkap dan diperiksa oleh Satuan Remaja Anak, dan Wanita (Renakta) Kepolisian Daerah Metro Jaya, ternyata sudah sekitar 50 anak yang jadi korban.

“Selain di Indonesia, tersangka juga melakukan perbuatan tersebut di India dan Vietnam,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi I Ketut Untung Yoga.

Hal ini pun sudah dilakukannya sejak 6 tahun lalu. Beberapa kali pula dilakukannya di Bali, Lombok, Sumba, dan Padang.

Untung menambahkan,”Dari pengakuan tersangka, jumlah korban yang ada di Indonesia sekitar 50 orang, di Vietnam 5 orang dan di India 7 orang.”

Aksi Peter diketahui berkat laporan dua orang anak dari rumah singgah Jakarta Center for Street Children (JCSC).

Mereka semula akan dijadikan korban baru oleh Peter. Keduanya ditawari kerja dengan upah Rp 50 ribu per hari. Sesampai di sana, mereka disuruh mandi. Kecurigaan muncul sewaktu mereka disuruh masuk ke kamar Peter.

Belum sempat Peter menjalankan aksinya, mereka minta izin ke kamar kecil. Saat itulah keduanya langsung kabur.

”Setelah mereka cerita ke kami, barulah Badu dan enam orang anak lainnya mengaku,” kata Andri Cahyadi, salah seorang dewan pendiri JCSC.

Dua diantara mereka, yaitu Badu dan Budi (16) akhirnya sering mendatangi Peter, yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris di sebuah lembaga bahasa hasil kerja sama Indonesia dan Australia.

”Uangnya saya pakai buat beli rokok sama jajan. 50 ribu itu kan dikit,” cerita Badu.
Setelah diberi pemahaman oleh Andri, barulah ia mengerti. Badu dan pihak kepolisian pun merancang sebuah aksi untuk menangkap peter.

Pada Sabtu (6/8), Badu menelepon Peter dan barkata bahwa ia punya ”anak baru”. Peter berkata bahwa ia ada di rumah dan menyuruh Badu membawa ”anak baru” tersebut.
Petugas pun mendatangi kediaman tersangka dan langsung menahannya. Sayangnya, Andri yang biasanya membantu Peter melarikan diri.

Dalam rangka penyidikan, polisi meminta anak-anak tersebut divisum. Hasil yang mengejutkan didapat. Ternyata Badu menderita penyakit menular seksual (pms).

Ia lalu dirujuk ke bagian kulit dan kelamin Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) untuk pemeriksaan lebih lanjut. Belum ada hasil yang diperoleh tentang penyakitnya tersebut.

Nampaknya, Badu juga tak ingin berbicara lebih lanjut tentang penyakitnya.

”Saya nggak ngerti. Biar saja. Yang penting saya sekarang cari duit saja dan baik-baik sama anak-anak,” ujarnya.

Menurut Andri, karena keterbatasan intelektual, anak-anak jalan tidak mengerti akan nasib mereka. Termasuk juga kekerasan seks yang menimpa mereka. Ada beberapa di antara mereka yang menjadi terlalu liar sehingga tak sungkan-sungkan mencuri, bahkan uang temannya sendiri.

Karenanya, di rumah singgah yang dikelolanya bersama sang istri, Natalie, anak-anak diberikan pendidikan dasar dan juga diajarkan bertanggung jawab.

”Kalau ada yang mencuri, asalkan mau mengaku dan minta maaf pasti kami maafkan. Kalau ada yang bermasalah, biasnya kami ajak ngobrol dan pecahkan bersama. Tentang penyakit Badu, tentu akan kami pikirkan bersama juga,” ujar Andri. (Ika Karlina Idris)
Jakarta Memberantas Preman

Preman ada di mana-mana. Tidak hanya bertindak sendiri, tapi seringkali membawa nama organisasi, kesukuan, atau bahkan agama.


Jakarta-Jurnal Nasional

Tengok saja apa yang terjadi di terminal-terminal. Selalu ada orang-orang yang meminta uang kepada pengemudi bus atau angkutan umum. Tentunya bukan pungutan resmi.

Menurut Romli (35), pengemudi KWK 31 jurusan Harapan Indah-Pulo Gadung, dirinya bisa mengeluarkan biaya 30 ribu setiap hari untuk pungutan yang tidak jelas.

“Kadang minta karena kebetulan saya ngambil penumpang di tempat dia berdiri, tapi ada juga yang emang minta duit, misalnya kalau mobil mau keluar terminal. Padahal waktu ngetem di dalam juga sudah ada yang mintain,” katanya.

Diding, salah seorang pengelola wc umum di terminal kampong Rambutan, Pulo Gadung, dan Kali Deres juga mengakui bahwa dirinya harus mencari penjaga wc yang “garang” agar tidak takut dengan preman.

Lelaki yang juga berasal dari Tasikmalaya ini berkata,”Nggak semua orang yang masuk wc mau bayar. Utamanya ‘orang terminal’ seperti sopir, kenek, dan pedagang. Kalau pun bayar, biasanya 1000 untuk satu hari. Tapi, kalau preman, udah nggak bayar, malah mainta duit ke kita.”

Belum lagi posko ormas yang berdiri hamper di setiap jalan. Posko tersebut dilengkapi dengan spanduk atau bendera seolah menunjukkan wilayah “kekuasaan” ormas tersebut. Anggota mereka juga memakai atribut semial jaket, topi, ataupun stiker.

Mengenai tudingan premanisme dan radikalisme yang dilakukan sejumlah organisasi masyarakat (ormas), Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal (Pol) Adang Firman menampik bahwa hal itu merupakan tindakan ormas.

Menurutnya, ''Bukan ormasnya yang salah. Tapi oknum-oknum dari ormas yang bertindak melanggar hukum. Kalau terbukti melanggar hukum, akan kita tindak. Siapa pun itu.''

Tak salah jika dirinya mengutamakan pemberantasan preman. Dirinya mengaku bahwa kata premanisme itu hanya istilah yang diberikan oleh masyarakat.

“Setahu saya, kata itu sendiri berasal dari kata free man alias orang yang ingin bebas,” katanya.

Kata premanisme atau juga preman sebenarnya tidak ada dalam istilah hukum. Dalam hukum, yang ada itu istilah pemerasan, pemalakan, pencurian, dan lain sebagainya.

Awalnya, masyarakat memberikan istilah tersebut untuk orang atau sekelompok orang yang melakukan hal-hal tersebut. Sedang istilah radikalisme, menurut Adang adalah tindakan main hakim sendiri yang tentunya melanggar tatanan hukum.

Dirinya dan seluruh jajaran aparat di Kepolisian Daerah Metro Jaya berkomitmen untuk membasmi premanisme dan radikalisme. Meski istilahnya premanisme sendiri belum jelas, namun kami pasti membrantas segala tindak kejahatan yang meresahkan masyarakat.

Ia menambahkan, “Selain itu, kami juga akan mengadakan tindakan antisipasi. Salah satunya adalah pendekatan terghadap ormas-ormas yang ada. Kalau ada anggota mereka yang melakukan tindakan premanisme ataupun radikalisme, tentu yang harus mendapat perhatian adalah latar belakang mereka melakukan hal tersebut. Kami harus tahu motivasinya agar lebih mudah melakukan antisipasi.”

Sejak Juni lalu, Polda Metro Jaya pun melakukan Operasi Brantas Jaya. Adapun sasarannya adalah pelaku pencurian dengan kekerasan, pencurian dengan alat berat, pencurian kendaraan bermotor, penggunaan senjata tajam dan senjata api, pencopet, calo, pengamen, dan tindakan lain yang meresahkan masyarakat.

Hal ini diakui pula oleh Kapolres Jaktim Komisaris Besar (Kombes) Robinson Manurung.

“Kami sudah seminggu ini kami adakan operasi anti premanisme dengan melakukan pemeriksaan KTP, salah satunya untuk mengantisipasi penodongan. Untuk sementara, daerah sasaran kami adalah daerah yang ramai,” katanya.

Adapun wilayah yang dimasudnya di bekas gedung bioskop Nusantara Jatinegara, perempatan Pasar Rebo, Utan Kayu, Terminal Pulo Gadung, Pasar Injo Pisangan Timur, Terminal bayangan Pondok Kopi, dan jalan raya Cakung serta Cilincing.

Hal senada diungkapkan juga oleh Kapolres Jakarta Pusat Kombes Bambang Hermanu.

Adapun yang menjadi titik sasarannya yaitu sekitar Stasiun Gambir, Sawah Besar, dan Mangga Besar, depan ITC Roxy Mas, jalan Ir. H. Juanda, dan jalan Merdeka Barat.
Operasi yang sama dilakukan juga di Depok, Bekasi, Tangerang, Tanjung Priok, Kepulauan Seribu, dan Bandara Soekarno Hatta.

Menurut Kepala Biro Operasional Polda Metro Jaya Komang Udayana, meski saat ini sedang diintensifkan, namun sebenarnya kegiatan seperti ini sudah rutin dilakukan Polda Metro Jaya.

“Kami akan menjaring orang-orang yang tidak punya identitas di terminal dan tempat-tempat rawan. Sasaran kami adalah kelompok orang yang biasa berkumpul dan kegiatan mereka tidak jelas serta meresahkan masyakarat,” ujarnya.

Komang juga mengatakan bahwa pihaknya tidak akan serta-merta melakukan penahanan, melainkan sesuai dengan bukti yang ada. Jika seseorang terbukti tidak memiliki KTP, maka akan diserahkan ke Pemda DKI Jakarta untuk diberi pengarahan.

Ia menambahkan,”Untuk operasi khusus anti premanisme, sebenarnya belum ada. Tapi memang kegiatan rutin ini diintensifkan dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus mendatang.

''Agenda pemberantasan premanisme dan radikalisme sesuai harapan masyarakat. Itu yang menjadi prioritas saya ke depan,'' tambah Adang.

Namun, menurut dia, mengingat keterbatasan jumlah personil kepolisian dalam pengamanan wilayah Ibu Kota, maka pihaknya meminta masyarakat ikut membantu dalam mencegah terjadinya anarkisme. Seperti, melakukan pengamanan intern di lingkungan masyarakat masing-masing.

Sebagai kepala keamanan di Ibu Kota, Adang Firman sadar bahwa tugasnya tidak ringan. Apalagi, Jakarta sebentar lagi bakal menggelar pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta yang digelar 2007. Karena itu, kapolda tetap mencermati adanya bentuk-bentuk anarkisme yang berusaha menciptakan Jakarta rusuh dan terjadi perpecahan. (Ika karlina Idris)
Napak Tilas Ala Swedia

Jakarta- Jurnal Nasional

Sebuah kapal besar terbuat dari kayu oak berlabuh di terminal penumpang Nusantara Pura II, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta pada Minggu (18/06) siang. Gota Lejon atau karakter singa berekor dua terdapat di anjungan depan, sedang pada badannya terdapat kain biru-kuning yang melilit melingkar.

Figur kapal tersebut nampak berbeda dibandingkan kapal lainnya yang juga sedang berlabuh di Tanjung Priok. Jika melihat tiga buah tiang penyangga serta tali-tali penunjang layarnya, jelaslah bahwa kapal tersebut bukan berasal dari masa kini.

Gotheborg nama kapal tersebut, berasal dari nama sebuah kota di swedia. Pada abad 18, kapal ini mengangkut produk besi, kayu, ter, dan minyak ke Spanyol untuk ditukar dengan perak.

Sesampainya di tujuan akhir, yaitu Guangzhou (Kanton), Gotheborg akan menukar perak dengan berbagai komoditas berharga seperti porselen, sutra, rempah-rempah, dan daun teh.

Namun, kapal layar jenis East Indiaman yang berlabuh saat ini hanyalah replika dari kapal aslinya. Bangkai kapal yang ada di laut harus digali lalu dibuatlah tiruannya. Meski pembuatannya memerlukan waktu 10 tahun, namun Gotheborg sekali lagi membawa warga Swedia menuju Cina dan Dunia.

Menurut Second Officer Gotheborg Andreas Berne, ada dua tujuan pembangunan kembali kapal ini. Pertama adalah untuk mengenang sejarah.

“Sewaktu kami membangun kapal ini sebenarnya adalah percobaan sejarah (historical experiment). Akan tetapi, dalam membangun kapal tua seperti ini kami juga belajar bagaimana cara untuk mengemudikannya,” kata Andreas.

Lelaki yang sudah pengalaman berlayar dengan berbagai jenis kapal ini mengaku bahwa Gotheborg adalah sebuah tantangan untuknya. Meski hanya replika, namun teknologinya yang masih tradisional membuat kapal ini lebih berat untuk dijalankan.

Ia berkata, “Sebisa mungkin kami membuatnya seasli dengan kapal yang lama. Tentu saja jauh lebih aman karena kami juga melengkapinga dengan sistem navigasi modern seperti GPS (general positioning system), radar, dan sitcom B.”

Menurut data yang ada, replika kapal yang akan berlabuh hingga 28 Juni ini memiliki panjang 40,9 meter, lebar 11 meter, dan luas layar keseluruhan 1.900 meter persegi. Kapasitas angkutnya mencapai 1.250 ton dan membawa 10 kanon sebagai persenjataan.

Tujuan lain berlayarnya kapal ini yaitu demi persahabatan Swedia dan negara-negara lain.

Sejak berlayar pertama kali pada Oktober 2005 Gotheborg telah melewati Cadiz Spanyol, Recive Bolivia, Cape Town dan Nelson Mandela Bay Afrika Selatan, Fremantle Australia, Jakarta Indonesia, Guangzhou, Shanghai, dan Hongkong di Cina.

Saat kembali kampung halamannya pada Agustus 2007 kapal ini akan melalui Terusan Suez.

Gotheborg memiliki 80 awak dengan komposisi 20 awak kapal tetap dan 60 lainnya relawan dari berbagai negara. Sebagian besar relawan berasal dari Swedia, sisanya adalah 4 relawan dari setiap negara yang mereka kunjungi. Dari Indonesia, keempatnya adalah kadet dari Akademi Angkatan Laut, yaitu Abdul Gofur, Andromeda, Agustian, dan Kresno Suryo.

Sesuai dengan motto perjalanan kapal ini, yaitu Friend-Ship-Trade, relawan yang mengikuti perjalanan pun berganti terus-menerus. Setiap mereka hanya mengikuti satu perjalanan.

Salah satu relawan adalah Anna Rodhe (21). Perempuan berambut pirang, bermata abu-abu, dan memiliki badan sekira 160 cm ini berasal dari Swedia. Ia menjadi awak Gotheborg sejak perjalanan dari Fremantle Australia hingga ke Jakarta.

Dari kampung halamannya yang juga asal kelompok band ABBA, Anna terbang naik pesawat ke Australia. Jika kapal tersebut akan berangkat ke Cina, ia pun harus kembali ke negaranya karena sudah ada relawan lain yang menggantikannya.

Menurut Anna, ia tak akan pernah melupakan perjalanannya bersama Gotheborg. Sambil menunjuk foto-foto para awak kapal yang ditempel di ruang makan kapal, ia berkata, “Lihat! Betapa menyenangkannya menjadi bagian dari mereka.”

Di foto-foto tersebut nampak jelas kegiatan para awak kapal untuk membunuh kebosanan dalam pelayaran.

Di salah satu foto terlihat mereka sedang berjemur cahaya matahari sore di anjungan kapal, di foto lain terlihat para awak kapal memamerkan ikan hasil pancingan mereka, bahkan ada foto mereka memakai kostum Sinterklas sewaktu merayakan natal di kapal.

“Mereka sudah seperti kelurga bagi saya,” ujar perempuan ingin mengambil sekolah pelayaran seusai berlayar nanti.

Bagi warga Jakarta yang ingin melihat Gotheborg dan menjadi bagian dari Friend-Ship-Trade, dapat mengunjungi kapal ini pada Sabtu-Minggu (24-25 Juni). Meski tak sama dengan yang dirasakan Andreas, Anna, atau awak kapal yang lain, namun anda masih dapat menjadi bagian dari sejarah.

Menyaksikan betapa manusia rela melakukan upaya sedemikian rupa untuk membangun sebuah replika kapal tradisional. Upaya manusia melakukan napak tilas sebuah rute perdagangan yang saat itu memakan waktu dua tahun. Upaya manusia untuk mengenang kembali sejarah mereka. (Ika Karlina Idris)
Ondel-ondel tidak Lagi Diarak


Jakarta-Jurnal Nasional

Ada yang berbeda di halaman hotel-hotel atau pun gedung-gedung di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin. Sejak awal Juni ini mereka seakan menghias diri dengan spanduk bertuliskan ‘Selamat Ulang Tahun ke-479 Jakarta’ atau ‘Dirgahayu 479 tahun DKI Jakarta’. Tidak hanya spanduk, anda pun akan menemui ondel-ondel.

Semakin banyaknya ondel-ondel yang dipajang di sepanjang jalan protokol seakan menjadi pertanda bahwa ibukota sedang mengadakan hajatan tahunannya.

Maklum saja, boneka besar khas Betawi dan berbusana layaknya abang none Jakarta ini memang biasa digunakan untuk menyemarakkan suatu acara. Semisal kawinan, penyambutan tamu terhormat, ataupun peresmian gedung.

Ondel-ondel adalah boneka besar dengan tinggi 2,5 meter dan diameter sekira 80 cm yang terbuat dari anyaman bambu. Rangka boneka disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalam.

Bagian wajahnya adalah topeng kayu, sedang rambutnya terbuat dari ijuk. Biasanya, ondel-ondel dibikin sepasang, yakni laki-laki dan perempuan. Untuk membedakannya, muka laki-laki dicat merah dan yang perempuan dicat putih.

Untuk membuat sepasang ondel-ondel dibutuhkan waktu paling cepat satu minggu. Namun, bisa juga sampai 2 atau 3 minggu, tergantung ukurannya.

Menurut Supandi (43), salah seorang pembuat ondel-ondel yang ada di daerah Kemayoran, “Ukuran standar ondel-ondel 3 meter. Tapi masalah ukuran tergantung permintaan aja. Malah kami juga bikin anaknya, yang berukuran 1 meter.”

Pembuatan ondel-ondel dibagi atas dua tahap, yaitu rangka dan topeng. Untuk membuat rangkanya, bahan yang dibutuhkan hanyalah bambu dan ijuk. Sedang untuk topeng, dulu menggunakan bahan kayu yang harus diukir. Tapi karena sekarang sudah sulit menemukan orang yang mengukir topeng, maka kini topeng dibuat dari bahan fiber glass.

“Pake fiber lebih praktis karena kami tinggal mesen di tukang fiber. Kalau sudah tinggal diamplas dan dicat. Nah, nungguin catnya kering yang lama, bisa ampe 3 hari,” kata Supandi.

Dalam pembuatan rangka, ia biasa dibantu oleh pemuda-pemuda di sekitar tempat tinggalnya. Salah satunya adalah Komang (25). Menurut pemuda asli betawi ini, pada dasarnya pembuatan rangka ondel-ondel ada 4 tahap.

“Pertama, dibikin dulu rangka yang bulat untuk bagian bawah, pinggang dan leher, termasuk juga membuat rangka untuk bahu. Abis itu semua rangka itu ditegakin pake bambu. Kalo udah, bagian bahunya dikasih semen ama ditempelin kertas biar lekuknya kayak bahu manusia,” ujar Komang.

Bagian tersulit dalam pembuatan ondel-ondel adalah rangka yang bentuknya bulat. Menurut Komang, rangka tersebut dibuat dari tangkai bambu sehingga sulit mendapatkan bentuk bulat yang sempurna. Seringkali, mereka harus membuka kembali ikatan rangka yang sudah ada dan membentuknya dari awal.

Adapun harga yang dipatok Supandi berkisar dari 1,5 hingga 3 juta rupiah, tergantung ketinggian ondel-ondel dan ongkos angkut jika sudah selesai. Rata-rata untuk ondel-ondel standar, harganya 3 juta rupiah sepasang. Sedang untuk anaknya (ukuran 1 meter), biasanya 1,5 juta rupiah.

Untuk harga tersebut, baju untuk ondel-ondel terbuat dari kain satin. Jika pemesan menginginkan baju yang lebih bagus, maka harganya lebih mahal.

Satu boneka memerlukan bahan baju 6 meter dan sarung 5 meter. Jika sepasang, maka butuh kain sepanjang 22 meter. Dan untuk harga kain 15 ribu rupiah per meter, maka modalnya 330 ribu rupiah.

Tetapi, menurut Supandi yang juga Ketua Grup Ondel-ondel Utan Panjang modal terbesar yang harus dikeluarkan adalah membuat topengnya. Jika terbuat dari bahan fiber glass, ongkosnya sekitar 700-800 ribu rupiah dan untuk topeng berbahan kayu bisa mencapai 1-1,2 juta rupiah. Harga tersebut belum termasuk pembelian cat untuk merias wajah ondel-ondel.

Yang paling sediki memakan biaya adalah rangka ondel-ondel. Sepasang ondel-ondel butuh dua ikat bambu seharga 60 ribu rupiah dan 4 bal besar ijuk seharga 48 ribu rupiah.

“Modalnya aja bisa nyampe 2 juta rupiah. Paling-paling kita mah untung sejuta. Itu juga untuk ngasih ke anak-anak (pemuda-pemuda yang membantu pembuatan rangka),” katanya.

Supandi juga pernah membuat ondel-ondel berukuran raksasa dengan tinggi 25 meter pada Pekan Raya Jakarta tahun lalu. Pesanan tersebut ia dapatkan dari Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta. Ia pun membutuhkan waktu satu bulan dan dibantu oleh 12 pemuda tetangganya.

“Enaknya sih karena semua bahan udah disediain. Kami tinggal buat aja,” ujarnya.

Lelaki yang juga merupakan ketua DPC Forkabi di daerah kemayoran ini mengakui bahwa membuat ondel-ondel hanya dilakukannya sebagai sampingan saja. Pesanan hanya ramai sepanjang Juni hingga Agustus hingga hasilnya tidak seberapa.

Sebenarnya, Supandi sudah membuat ondel-ondel sejak 1995. Hal itu dilakukannya karena sudah “cinta” dengan boneka besar ini. Sedari kecil lelaki paruh baya ini memang sudah menyukai ondel-ondel yang menjadi ciri khas Betawi.

Supandi yang dipanggil Uwa oleh tetangganya ini berharap agar ondel-ondel tidak punah. Ia juga berangan-angan di pemerintah DKI Jakarta mau membuat patung ondel-ondel agar menjadi cirri khas Jakarta. (Ika Karlina Idris)
Karena Tersengat Listrik, Sandi harus Cacat Seumur Hidup

Jakarta-Jurnal Nasional

Seorang bocah lelaki yang duduk di belakang meja tak henti-henti menggesekkan kedua kakinya. Ia menjawab pertanyaan yang diajukan beberapa wartawan dengan suara pelan, hampir tak terdengar. Beberapa kali, jawabannya hanya anggukan atau sekedar gelengan kepala.

Rasanya wajar saja jika Sandi, nama bocah tersebut, bereaksi seperti itu. Ia harus menceritakan kejadian sekitar satu setengah tahun lalu yang merenggut lengan kanannya dan membuat alat kelaminnya tidak berfungsi.

Pada awal November 2004, saat mencari belut dan memburu jangkrik di sawah, Sandi dan kelima orang temannya tiba-tiba dikejar oleh seekor Musang. Mereka pun lari tunggang langgang.

Dalam keadaan panik, bocah bernama lengkap Astria Ari Sandi ini pun memanjati salah satu menara listrik PLN yang ada di sawah.

Saat itu juga ia terkena setrum dan berada di atas menara selama kurang lebih setengah jam. Untunglah datang warga yang segera menolong.

Namun sayang, tegangan listrik sebesar 30 KV menghanguskan lengan kanan dan alat kelaminnya. Belum lagi luka bakar yang membekas di kedua paha dan tangannya. Orang tua bocah yang duduk di kelas VI SD Arcawinangun Purwokerto ini pun harus menjual harta benda mereka untuk biaya pengobatan.

“Karena tidak punya uang, saya menjual kompor dan tabung gasnya, serta perhiasan yang dimiliki istri saya,” kata ayah Sandi, Suharno (42).

Lelaki yang sehari-harinya memulung sampah ini pun sempat beberapa kali mendatangi PLN Unit Pelayanan Transmisi Purwokerto untuk minta pertanggung jawaban. Pihak PLN memang memberikan bantuan, tapi bukan atas nama institusi melainkan atas nama Amil Zakat PLN.

Total bantuan yang mereka berikan sejak kejadian tersebut sejumlah 8,5 juta rupiah. Sedang biaya pengobatan Sandi sebesar 8 juta rupiah.

“Uang itu saya dapat setelah beberapa kali dating ke sana. Itu saja saya seperti mengemis ke mereka. Bulan lalu, saya terakhir datang ke sana. Saya minta bantuan untuk membayar uang ujian 85 ribu rupiah dan uang untuk beli sepatu. Tapi hanya diberi 150 ribu. Padahal, anak saya tidak jelas masa depannya,” kata Suharno.

Lelaki yang sempat menangis sewaktu menyeritakan tentang nasib anaknya ini ingin agar PLN memerhatikan anaknya tidak hanya dari sisi medis, tapi juga kondisi psikologisnya.

Ia ingin ada jaminan masa depan untuk pendidikan anaknya, mengingat kecacatan yang sudah dialami. Ia terutama sangat prihatin atas ketidakberfungsian alat kelamin Sandi.

“Anak saya kan laki-laki. Bagaimana mungkin ia bisa berkeluarga dengan kondisi seperti ini?,” katanya sambil menangis.

Selain itu, ayah dari dua orang anak ini juga berkata bawa perbahan drastis terjadi di dirinya anaknya. Tidak hanya fisik yang semakin kurus, tapi juga perangainya berubah. Dulu, bocah yang hobi bermain bola ini selalu patuh pada orang tua. Tapi, kini ia sering membantah.

“Mungkin ia marah karena kecacatannya. Tapi marah itu dipendam, hanya keluar saat-saat tertentu saja,” ujarnya.

Karena Suharno menilai tidak ada itikad baik dari PLN, ia pun minta bantuan LBH Kesehatan dan Perumahsakitan Purwkerto. Sebenarnya, kasus ini sudah sering diangkat oleh media massa setempat. Tapi, setiap kali ada pemberitaan, pihak PLN selalu memberi uang.

Kata Suharno, “Sebenarnya mereka sudah dua kali menawarkan untuk membuat surat perjanjian, pada 2005 dan bulan yang lalu. Tapi saya tidak mau. Kalau perjanjian seperti itu, saya takut berubah setiap kali pimpinannya ganti. Saya ingin jaminan yang pasti,” paparnya.

Untuk itulah, pada Selasa (06/06) Ia dan Sandi datang bersama pengacara dan tokoh masyarakat setempat ke Komnas Perlindungan Anak di Jakarta. Dengan langkah ini, mereka berharap adanya simpati dari pemerintah dalam hal ini pihak PLN pusat.

Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, pihaknya akan membantu dialog dengan PLN. BUMN yang direkturnya sedang ditahan karena korupsi tersebut jelas-jelas telah melanggar hukum, tidak hanya karena lalai dalam pemagaran menara listriknya.

Arist juga menilai, ketidakpedulian PLN sudah melanggar pasal 59 dan 60 UU Perlindungan Anak. Akan tetapi, hal yang paling dibutuhkan Sandi adalah terapi psikologis.

“Anak ini harus diberikan keyakinan bahwa meski kondisnya seperti ini, ia masih bisa mencapai cita-cita dan keinginannya,” ujarnya.

Ucapan Arist bukanlah sesuatu yang muluk-muluk. Layaknya seorang bocah usia 11 tahun, Sandi memiliki banyak keinginan. Ia ingin sekolah hingga perguruan tinggi, ia ingin bertemu dengan bintang idolanya Ariel ‘Peterpan’, ia ingin bermain bola sepiawai idolanya Boaz Salossa.

Dengan adanya perhatian dari berbagai pihak, orang tua Sandi berharap cita-cita dan keinginan anaknya dapat tercapai. Paling tidak, rasa percaya diri dan semangatnya kembali seperti dulu. (Ika Karlina Idris)
Incuvestor: Cara Cerdas Mengembangkan UMKM di Indonesia

Jakarta-Jurnal Nasional

Modal bukanlah hal utama yang dibutuhkan kelompok Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Ada yang lebih penting, yaitu Incuvestor berupa Financial Assistance (Pendampingan Keuangan) dan Techincal Assistance (Pendampingan Teknis).

Dalam wadah ini, UMKM diinkubasi hingga memiliki nilai tambah untuk bertahan di persaingan bisnis yang semakin kompetitif. Selama masa inkubasi, UMKM diberi pengarahan, pelatihan, pendampingan dalam hal keuangan, dan penjaringan usaha.

Menurut Dr. Laurence Hewick, direktur Canadian Business Incubators, Cina sebagai salah satu negara yang aktif dalam perdagangan global pun telah melakukan hal serupa. Mereka tidak lagi fokus ke area manufaktur, namun mengalihkannya ke peningkatan profesionalisme manajerial.

Dalam proses inkubasi para pelaku UMKM harus dibekali dengan keahlian untuk berpikir kreatif, kemampuan menganalisa, ahli dalam berkomunikasi dan bernegosiasi, tidak mudah menyerah, dan kompak.

Selama ini, kesulitan finansial selalu mengemuka dalam diskusi tentang UMKM. Masalahnya antara lain banyaknya jaminan yang diminta oleh bank, prosedur pengajuan kredit yang berbelit-belit, tingginya tingkat suku bunga perbankan, serta kurangnya informasi permodalan.

Sementara perbankan merasa bahwa UMKM adalah sektor yang berisiko tinggi, memiliki keuntungan yang kecil, dan jumlah jaminan yang terbatas.

Meski seringkali “terlupakan”, namun UMKM merupakan salah satu pelaku usaha yang memiliki peranan penting.

Kepala Biro Kredit Bank Indonesia Ratna E. Amiaty mengatakan,”Pada waktu perekonomian Indonesia collapse (jatuh), yang tetap bertahan hanyalah UMKM. Mereka bukanlah sekedar peran pendukung dalam ekonomi nasional.”

Dalam pelatihan “International Best Practices for Increasing Incubator Efficiences” pada Rabu (10/05), di Jakarta, dibahas tentang peranan UMKM dalam sistem ekonomi global.

Survei Ernst&Young di awal tahun ’90-an menunjukkan bahwa 80% dari perekonomian dunia digerakkan oleh aktivitas wirausaha. Bahkan, 95% dari lapangan kerja yang ada ternyata dibuka oleh bisnis kecil.

Menurut Tutty Cholid, pelaku UMKM dan juga incuvestor di bisnis sutera, Program Inkubator haruslah sejalan dengan permodalan. Mereka tidak hanya diberikan teori-teori saja, tapi modal pun harus ada. Jika keduanya tidak beriringan tentunya akan sulit. (Ika Karlina Idris)
Saya Merusak Maka Saya Ada

Jakarta-Jurnal Nasional

Ruang pengadilan Mahkamah Agung (MA) di gedung Uppindo, Jakarta Selatan, dirusak massa pendukung Lukas-Alex Hasegem pada Selasa (23/05). Massa yang diduga dari KPU Daerah Papua membalikkan kursi dan mematahkan pagar kayu pembatas. Selain itu, salah satu meja sidang ambruk karena kakinya patah.

Di luar gedung, beberapa orang melempari kaca depan hingga pecah. Bahkan ada pula yang merusak lampu taman.

Perusakan fasilitas umum bukanlah hal yang baru. Lihatlah kondisi di sepanjang jalan. Banyak halte yang dicoreti, lampu penerang jalan yang dipecah, rambu-rambu lalu lintas dan pagar pembatas yang dicabuti.

Bahkan, telepon umum yang dapat berfungsi dengan baik sangat jarang ditemui di Jakarta. Seringkali, gagang telepon lenyap, tempat koin dicungkil ataupun diganjal, tombol-tombol nomor telepon dicopoti, atau kaca-kaca rumah telepon pecah dan dipenuhi coretan.

Menurut Humas Dinas Pekerjaan Umum Agus Muharam bentuk vandalisme yang biasa ditemuinya berupa pengerukan daerah aliran sungai (das) dan pencabutan pagar di beberapa waduk, misalnya Sunter, Pluit, dan Ria Rio (Pulomas).

“Selain itu ada pula penyerobotan aset. Misalnya para pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar. Karena mereka ditarik retribusi, makanya mereka merasa memiliki,” ujar Agus.

Menurut Sosiolog Budi Radjab, ada dua hal yang mendorong seseorang melakukan vandalisme, khusunya warga DKI Jakarta. Pertama, karena mereka ingin menunjukkan identitas, baik secara pribadi maupun kelompok.

“Dengan adanya coretan atau tulisan, berarti seseorang memberikan tanda keberadaannya,” ujar Budi.

Kedua, adanya ketidaksukaan terhadap fasilitas umum. Ada kelompok tertentu yang tidak suka dengan fasilitas umum karena berbagai alasan. Bisa jadi karena letaknya yang tidak pas, tampilannya yang jelek, atau sekedar tidak suka.

Hal tersebut diakui oleh Joni (bukan nama sebenarnya). Sudah 13 tahun ia sering menggambari tembok, papan iklan, ataupun pagar-pagar di ruang publik. Bahkan, dulu ia sering mencabuti rambu-rambu di pinggir jalan untuk dikoleksi.

“Kalau ada billboard (papan iklan) yang baru dipasang dan menghalangi pandangan mata gue, biasanya gue lemparin bom cat, biar iklannya nggak keliatan. Gue pikir itu nggak ngerugiin. Kan ada pohon yang dipotong lalu diganti ama pohon besi (billboard),” ujarnya.

Lelaki usia 26 tahun ini juga mengaku bahwa ia melakukannya hanya untuk bersenang-senang. Sewaktu kuliah, Joni pernah membuat stensil grafitti di dinding kampusnya. Grafitti itu adalah gambar dirinya dengan kata bertuliskan ‘poor ugly happy’.

Karena sudah hampir setahun tidak melakukannya, kerinduan tersendiri yang dirasakan pustakawan sebuah sekolah swasta di bilangan Kelapa Gading ini.

“Tidak ada kegiatan yang menyenangkan yang bisa dilakukan di Jakarta. Semuanya hanya rutinitas aja,” kata Joni.

Menurut Budi vandalisme ada karena budaya Indonesia memang membentuk masyarakat yang seperti itu. Masyarakat belum sadar perbedaan antara milik pribadi dan milik umum. Semuanya karena sistem pendidikan yang salah.

“Sekolah kita belum memberi pelajaran yang benar tentang apa itu trotoar atau tentang siapa yang memiliki trotoar. Itu karena ada pengelolaan fasilitas umum yang ekslusif. Misalnya trotoar yang dikomersilkan dengan menarik retribusi atau gelanggang olahraga dan taman yang dipagari,” katanya.

Dalam sistem pendidikan, hal terbut harus ditekankan. Jangan ada kesan bahwa kepemilikan fasilitas umum dikuasai oleh pemerintah.

Untuk menangani hal ini ada tiga hal yang dapat dilakukan. Pertama, melakukan penyadaran terus-menerus bahwa fasilitas umum adalah untuk kepentingan orang banyak. Merusaknya, berarti merugikan masyarakat.

Kedua, harus ada sosialisasi tentang sumber pendanaan fasilitas umum. Jika ada perusakan, berarti uang masyarakat yang terkumpul dari pajak akan terbuang sia-sia.
Ketiga, harus ada kontrol dari aparat. Baik itu dilakukan langsung ataupun diwakilkan ke lembaga yang ada di masyarakat.

Budi berujar, “Kontrol itu harus dilakukan secara konsisten. Selama ini memang ada kontrol, tapi tidak konsisten, bahkan kurang sekali.”

Hal tersebut diakui juga oleh Agus. Menurutnya, selama ini Dinas PU hanya menangani untuk persiapan, pembangunan, dan pemeliharaan. Tapi, tidak melakukan pengawasan.

“Dinas Tamtrib (Ketentraman dan Ketertiban) harusnya bertindak sebagai polisi Perda 11 tahun 1988. Apapun yang menyangkut aset Pemerintah Daerah, diawasi oleh Tramtib,” kata Agus.

Perda 11 tahun 1988 mengatur tentang ketertiban umum di wilayah khusus Ibukota Jakarta. Diantaranya disebutkan bahwa kecuali atas izin Gubernur Kepala Daerah, setiap orang dilarang membuat, memasang, memindahkan, membuat tidak berfungsi rambu-rambu lalu lintas dan melakukan perbuatan yang merusak sebagian atau seluruh badan jalan dan membahayakan keselamatan lalu lintas. (Ika Karlina Idris)

Friday, September 01, 2006



Bayang-bayangku dan bayang-bayangmu

Malam itu menyenangkan

Terima kasih ya...

Karena telah menemaniku di saat-saat jenuhku
Pecinta Paruh Waktu



Hampir dua bulan sudah saya menjadi pecinta paruh waktu...

Maksudnya, saya hanya mencinta di waktu-waktu tertentu, tidak setiap saat. Ternyata, menyenangkan. Saya menikmatinya.

Kami berjalan-jalan ke tempat-tempat yang belum pernah saya datangi. Kami ke berbagai macam festival. Mulai dari Festival Kota Tua, Festival Jalan Kemang, hingga Festival Jalan Jaksa.

Awalnya, tentu saja ada rasa tertarik. Menurut saya, dia manis, baik, dan terutama sekali: dia membuat saya tertawa lebih banyak.

Bersamanya selalu menyenangkan. Ada-ada saja hal konyol terjadi.

Tapi, saya tidak memanjakan rasa yang timbul. Kalau kami tidak bertemu, saya tidak mau memikirkannya.

Masa-masa penantian dan kangen-kangenan sudah lewat. Segala romantisme menurut saya tak perlu lagi. Been there done that!

Asal kamu tahu saja, dia pernah ingin menyuapi saya karena saya sedang sibuk menyetir. But I refused to be treatened like that! Stop semua hal-hal romantis. Hanya akan membuat saya menyukainya lebih dari yang saya inginkan.

As long as we had a good time, i dont have to make it full time…

Melihat dari perilaku dan tindak-tanduknya, kayaknya dia juga pecinta paruh waktu seperti saya. Lagipula, bintangnya Scorpio! Tipikal sekali! Hehehe...

Lalu, suatu hari, kami memasuki tahap emosional.
Saya tak tahu awalnya kami membicarakan apa.
Yang jelas, dia bercerita kalau sudah beberapa kali dia dekat dengan perempuan, tapi si perempuan menolak untuk menjadi pacarnya.

Dia bilang, dia selalu dihubungi kalau mereka butuh bertanya arah jalan, curhat tentang pekerjaan, ataupun hal-hal lain. Intinya, mereka hanya menghubunginya sewaktu sedang susah.

Saya jadi berpikir, bukankan hal itu yang sedang saya lakukan sekarang?

Lagipula, sebelumnya saya pernah berada di posisi perempuan-perempuan itu. Tentu saja bukan dengan dia. Tapi, saya juga punya seseorang seperti di lagu Vertical Horizon:

He’s everything you want
He’s everything you need
He’s everything inside of you that you wish you could be
He said all the right things at exactly the right time
But he means nothing to you and you don’t know why


Saat itu, dia ada di posisi korban dan saya di posisi pelaku.

Saat itu juga, saya merasa sayang padanya.

Jujur saja, saya benci situasi itu. Saya tidak mau memiliki ikatan emosi dengannya.

Hari ini, saya melihatnya bersenda gurau dengan perempuan lain. Sebenarya biasa saja, lumrah dilakukan antar teman.

Tapi, saya kok jadi sedih?

Arrrrrgh!!! Ternyata susah untuk jadi Pecinta Paruh Waktu!