Friday, May 15, 2009

Asep Kambali, Pendiri Komunitas Historia: Wisata Sejarah, Hiburan dan Pengetahuan

BAGI Anda yang senang mengunjungi museum atau berwisata sejarah, tentu tak asing dengan nama Asep Kambali. Lelaki 28 tahun ini adalah pendiri Komunitas Historia yang sering berwisata sejarah ke museum atau situs bersejarah.

Beberapa acara wisata yang pernah diadakan komunitas ini seperti Jak-Trail: Jatinegara Menguak Jejak Meester Cornelis, Night Trails at Museum, atau Wisata Kampoeng Tua, yang mengajak peserta menyusuri peninggalan sejarah sejak zaman penjajahan Belanda hingga saat penjajah meninggalkan gedung-gedung tua yang kokoh, yang kini dibiarkan kumuh.

Agenda wisata Komunitas Historia juga dilakukan di daerah lain seperti Banten, Kepulauan Seribu, Bandung, dan Medan. Hingga kini, anggota mailing list komunitas ini jumlahnya hampir 1.700 orang yang beragam dari pelajar/mahasiswa, eksekutif muda, ibu rumah tangga, kelompok ekspatriat, pemerhati sejarah&budaya, akademisi serta masyarakat luas, yang tersebar baik di dalam maupun luar negeri.

Dalam setiap wisata sejarah yang diadakan komunitas ini ada tiga unsur yang harus ada, yaitu edukasi, rekreasi, hiburan. Menurut Asep, unsur rekreasi adalah unsur terpenting dari kegiatan ini. "Obat paling mujarab," ucapnya.

Menjelajahi Baduy Bersama Bagol

SEBUT saja nama Bagol pada penduduk Baduy dan mereka akan menerima Anda di rumahnya. Lelaki berkulit sawo matang, rambut kering panjang sebahu, dan perawakan sedang ini sudah seperti keluarga bagi penduduk Baduy Luar ataupun Baduy Dalam.

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan Baduy merupakan sebutan yang diberikan penduduk luar kepada kelompok masyarakat ini, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).

Sudah delapan tahun Bagol keluar masuk Baduy mengantarkan turis asing, domestik, ataupun peneliti. Mulanya, lelaki bernama asli Gunawan Indra Permana ini menemani fotografer kawakan Don Hasman masuk ke Baduy. Karena kagum akan nilai-nilai yang dimiliki penduduk Baduy, dia pun sering mengunjungi masyarakat adat tersebut. “Ada rasa kangen juga kalau lama nggak ke sana,” ucapnya.

Thursday, May 07, 2009

UN Hancurkan Moral Anak Bangsa

”Guys, jangan lupa besok datang ke rumah Pak Guru.” Begitu tulis status seorang kawan di Facebook. Usut punya usut, ternyata si kawan akan diberi “pengarahan khusus” oleh Pak Guru untuk berbagi jawaban dalam Ujian Nasional (UN). Pegang pensil di tangan kanan, berarti A, di kiri berarti B, pegang alis berarti C, pegang hidung D, dan menggeleng berarti E.

Rupanya, tak cukup hanya ”pengarahan khusus”. Si kawan mengaku kalau ternyata kepala sekolahnya sudah bekerja sama dengan para pengawas, agar soal bisa dibuka sebelum waktunya. Beberapa guru ditugaskan khusus menjawab soal dan mengedarkan jawabannya ke siswa.

Alhasil, si kawan pun melewati hari-hari ujian dengan tenang. Padahal, ia sudah mempersiapkan diri setahun sebelumnya, dengan pelajaran tambahan di sekolah dan bimbingan belajar.

Melihat berita yang ada di media massa, ternyata banyak kepala sekolah yang melakukan kecurangan saat proses UN berlangsung. Di Kabupaten Bengkulu Selatan ada 16 kepala sekolah diperiksa polisi terkait dengan dugaan kebocoran soal UN (Kompas, 23 April 2009). Mereka diduga bersepakat untuk membocorkan soal-soal kepada siswa.

Di satu sisi, perbuatan para kepala sekolah tersebut tentulah mencemari dunia pendidikan kita. Betapa tidak, guru yang harusnya digugu dan ditiru, malah memberi contoh yang buruk bagi muridnya.

Akan tetapi, kepala sekolah juga tak bisa sepenuhnya disalahkan. Departemen Pendidikan Nasional dan Pemerintah Daerah mengultimatum: siswa yang lulus UN harus 100 persen. Jika tidak, kepala sekolah dan pejabat di dinas pendidikan akan dimutasi. Lihatlah ancaman yang dilakukan Walikota Bekasi Mochtar Mohamad (Kompas, 23 April 2009) pada kepala sekolah di wilayahnya.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo tahun lalu mengatakan bahwa UN tak semata ujian materi pelajaran, namun juga ujian kejujuran. Angka kelulusan, tegasnya, tak menjadi prioritas. Sayang, para pejabat terkait mengacuhkan ucapan Mendiknas. Bagi 16 kepala sekolah dan juga Walikota Bekasi, kelulusan adalah yang utama.

Sebagai pemegang kebijakan, Mendiknas harusnya bisa mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan UN yang sudah berlangsung tujuh kali. Sejauh ini, Mendiknas terus meningkatkan standar kelulusan peserta didik ataupun menambah jumlah mata pelajaran. Tak sekalipun Mendiknas merenungkan apakah para siswa, guru, kepala sekolah, dan pejabat terkait siap menghadapi UN.

Ketidaksiapan tersebut juga sudah ditegaskan secara hukum oleh Pengadilan Nengeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan memenangkan gugatan warga negara terhadap UN. Para tergugat, yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) lalai dalam meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta informasi, khususnya di daerah pedesaan.

Namun, lagi-lagi pemerintah bersikukuh dengan kebijakannya dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. UN pun tetap berjalan tahun ini dan kecurangan-kecurangan kembali terjadi.

Guru sebagai Penjaga Moral

Dari kasus UN ini terlihat jelas bahwa pemerintah masih mengedepankan hasil tanpa melihat proses. Para guru dan kepala sekolah pun hanya mendidik, tak lagi mengajar. Selama setahun siswa digembleng dengan latihan soal-soal UN. Namun rasa tak percaya terhadap kemampuan siswa (dan juga kemampuan sendiri) akhirnya membuat mereka melakukan segala cara, termasuk memberi bocoran jawaban.

Pendidikan moral yang diberikan pada siswa selama tiga tahunpun sia-sia dalam satu minggu ujian nasional. Bayangkan bagaimana para kepala sekolah yang menjadi penjaga citra pendidikan malah memberi contekan pada siswa-siswanya.

Sejatinya, seorang guru mempunyai tiga tugas pokok: tugas profesional, tugas kemasyarakatan, dan tugas manusiawi. Tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.

Tugas profesional seorang guru adalah menyampaikan ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang belum diketahui anak. Tugas kemasyarakatan adalah mengemban dan melaksanakan UUD 1945 dan GBHN. Sedang tugas manusiawi adalah membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya.

Salah satu tugas manusiawi guru adalah mengajarkan budi pekerti. Artinya, guru harus bisa memanusiakan manusia, menumbuhkembangkan nilai-nilai kemanusiaan, dan membangun budi pekerti.

Dijadikannya hasil UN sebagai satu-satunya patokan kelulusan siswa telah membuat para guru dan kepala sekolah melupakan tugas manusiawinya. Guru dan kepala sekolah di satu sisi menjadi penjaga moral, tapi di sisi lain juga turut menghancurkannya.

Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini, ada baiknya kita merenungkan kembali salah satu ajaran Ki Hajar Dewantara: tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).

Sebagai penjaga moral anak bangsa, guru dan kepala sekolah harus harus mampu berdiri di depan memberi teladan kepada murid-murid, di tengah untuk menyemangati, dan berdiri di belakang membuka peluang siswa untuk berkarya.

Kartini, Plato, dan Dunia Penelitian Kita

Buku Habis Gelap, Terbitlah Terang berisi kumpulan surat R.A.Kartini yang menunjukkan keinginannya untuk bebas menuntut ilmu dan belajar. Cita-cita Kartini bisa jadi sudah terwujud jika kita membandingkan kondisi pendidikan di eranya dan era kini. Namun cukupkah hanya sekedar menjadi terang?

Keinginan menuju terangnya Kartini sebenarnya bisa dijelaskan lebih jauh dengan Mitos Gua Plato (The Allegory of the Cave). Dalam alegori tersebut, Plato menggambarkan adanya sekelompok orang yang selama hidupnya tinggal di dalam gua. Mereka hanya makan tumbuhan dan serangga yang ada di gua. Dan mereka selalu takut jika melihat bayangan hewan yang melintas di depan gua.

Suatu hari, para manusia gua kehabisan makanan. Salah seorang dari merekapun memutuskan untuk keluar gua. Manusia gua yang lain mengganggapnya gila dan membiarkannya pergi sendiri.

Benar saja, saat tiba di luar gua, ia pingsan dan terpana melihat hal-hal baru yang selama ini tak pernah ditemuinya. Bahkan, ia terpukau dengan betapa terangnya sinar matahari. Setelah bisa beradaptasi, ia pun kembali ke gua untuk meyakinkan teman temannya betapa dunia di luar gua sangatlah luas.

Menurut Plato, kita semua ini seperti manusia gua, yang mengira bahwa dunia yang kita lihat tersebut sebagai realitas, padahal dunia ini tak lain dari pada bayang-bayang dan bukan realitas yang sesungguhnya.

Kartini, tentulah sudah lebih dulu tahu bahwa ada dunia yang sangat luas dibanding dunianya dulu. Maka itu, ia ingin para perempuan mengecap pendidikan yang ditabukan (sama seperti manusia gua mengganggap tabu untuk melangkah ke luar gua).

Saat ini, baik perempuan maupun laki-laki sudah bisa mengecap dunia pendidikan. Dibandingkan era Kartini, tentu saja kuantitas dan kualitas pendidikan kini lebih baik.

Namun, yang perlu diperhatikan adalah setelah keluar dari gua dan mendapat pencerahan, harusnya kita tak boleh berpuas hati. Kita harus menyadari bahwa dunia di luar gua sebenarnya menjadi gua yang baru. Untuk itu, kita harus terus melakukan perubahan dengan eksplorasi dan penelitian.

Sayangnya, dunia pendidikan kita sangat minim dengan penelitian. Padahal dunia pendidikanlah yang bertugas untuk mencerahkan manusia, dengan menemukan pintu gua yang lain dan mengantar kita beranjak keluar dari gua yang baru.

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departmen Pendidikan Nasional Fasli Jalal produktivitas penelitian di Indonesia masih rendah (Kompas, 15 April 2009). Hal itu terlihat dari rendahnya kemampuan ilmuwan untuk menyumbang penelitian ke jurnal ilmiah. Hanya ada 0,8 artikel per 1 juta penduduk, bandingkan dengan India yang artikel ilmiahnya mencapai 12 artikel per satu juta penduduk.

Jumlah penelitian juga sangat tak imbang dengan jumlah peneliti kita. Ada 7.900 peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan lembaga penelitian di departemen.

Di perguruan tinggi, baru sekitar 12.000 dari 155.000 dosen yang terdata melakukan penelitian (Kompas, 10 Desember 2008). Padahal, meneliti menjadi bagian dari Tri Dharma perguruan tinggi, selain mengajar dan mengabdi pada masyarakat.

Jika dunia penelitian kita saja miskin karya, bagaimana caranya kita membawa bangsa ini untuk menemukan dunia yang baru?

Dalam Mitos Gua Plato, harusnya para manusia gua sudah bisa keluar jauh-jauh hari sebelum makanan mereka habis. Tak beda jauh dengan dunia penelitian kita. Harusnya, para peneliti di perguruan tinggi bisa memberi pembaruan, sebelum ilmu pengetahuan menjadi usang.

Peringatan hari Kartini pada 21 April harusnya bisa menggungah para peneliti dan dosen untuk meningkatkan produktivitasnya. Hanya penelitianlah yang mampu membawa manusia menemukan pintu gua yang baru, membawa manusia keluar dari pintu gua, untuk melihat terang-benderangnya dunia.